LaporIklim

Rakus Tambang, Kurus Anak: Ironi Stunting di Kawasan Tambang

Anak tambang, sumber foto: Mongabay
Sumber foto: Mongabay – Jatam Kaltim

Persoalan stunting tidak sekadar tentang jumlah kalori makanan yang dikonsumsi, melainkan soal kualitas air bersih, sanitasi, dan lingkungan tempat tinggal yang layak. Apa gunanya telur rebus, ikan, sayuran, dan nasi jika mereka mandi di air asam tambang, mencuci tangan dengan limbah logam berat, dan ambil air di sungai yang tercemar tailing nikel dan emas?.

Di balik gemerlap dan iming-iming kekayaan di kawasan tambang, ada realitas sunyi yang dialami masyarakat sekitar, khususnya anak-anak. Kawasan tambang menjadi salah satu episentrum kasus stunting di Indonesia. Ini bukan sebatas korelasi statistik, tetapi hasil dari sistem pengelolaan sumber daya yang membahayakan pertumbuhan anak.

Laporan Greenpeace dan Celios tahun 2024 menunjukkan bahwa desa-desa di sekitar tambang justru tertinggal dalam hal kesejahteraan sosial, termasuk kualitas air dan layanan kesehatan lingkungan. Limbah tambang mencemari sungai, mematikan ekosistem, dan merusak sumber pangan. Ikan yang seharusnya sumber protein justru menjadi saluran masuk logam berat ke tubuh anak-anak.

Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia tahun 2024 yang dirilis Kemenkes RI, saat ini angka stunting nasional mencapai 19,8 persen. Apabila dilihat berdasarkan provinsi yang memiliki tambang terbesar, seperti Kalimantan Timur, angka stunting mencapai 22,3 persen. Sementara kawasan episentrum nikel di Maluku Utara, prevalensi stunting malah lebih besar, yaitu 23,2 persen.

Lingkungan rusak menjadi faktor utama peningkatan kasus stunting di berbagai wilayah. Setidaknya ada tiga dampak pertambangan terhadap penghancuran kualitas lingkungan, sehingga membahayakan anak-anak. Pertama, yaitu pencemaran air. Aktivitas tambang pasti menghasilkan residu sedimen dan limbah yang mencemari sumber air masyarakat. Limbah tersebut mengandung bahan berbahaya, seperti merkuri, timbal, atau arsenik.

Kondisi pesisir Baliaran, Pulau Kabaena yang penuh oleh lumpur ore nikel. Sumber: Mongabay

Air yang sehari-hari digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, akhirnya menjadi medium masuknya racun ke dalam tubuh manusia. Temuan Nexus3 Foundation menyebutkan bahwa air sungai Ake Jira dan Ake Sagea di Teluk Weda mengandung kromium, kadmium, dan nikel yang melebihi standar.

Akibatnya, ditemukan sebanyak 22 orang di Desa Gemaf yang di dalam darahnya terdapat logam berat karena mengonsumsi ikan dari sungai yang telah tercemar. Dalam kasus ini, air menjadi jalur tercepat menuju malnutrisi kronis dan stunting yang dapat mengakibatkan diare dan gangguan pencernaan lainnya bagi anak-anak, sebagai kelompok rentan.

Laporan The Gecko Project pada bulan April 2025 menguatkan dampak buruk tambang terhadap kesehatan masyarakat sekitar, terutama anak-anak. Harita Nickel Group yang berlokasi di Pulau Obu, Halmahera Selatan, Maluku Utara, ternyata menghasilkan limbah dengan kandungan kromium 6, yaitu zat bersifat racun yang dapat merusak hati, ginjal, dan menyebabkan kanker.

Dampak kedua adalah penurunan kualitas tanah dan udara karena debu halus hasil peledakan tambang atau mobilitas transportasi tambang. Hasil temuan Nexus3 Foundation pada April 2025 menyebutkan bahwa polusi karena debu halus terjadi di Torobulu. Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Bahkan, seorang anak menderita ISPA parah akibat debu tambang nikel yang hanya berjarak 50 meter dari ruang kelas mereka.

Kandungan pencemar udara adalah partikel PM 2,5 yang sangat mudah terhirup dan masuk dalam sistem pernapasan manusia, bahkan pada kasus tertentu bisa masuk ke dalam aliran darah. Dalam laporan The Gecko Project, Nurhayati merupakan warga Desa Kawasi di Maluku Utara yang hidup dekat lokasi tambang, mengatakan bahwa jika ia batuk, maka keluar nanah dan darah. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi anak anak yang lebih rentan terhadap infeksi saluran pernapasan, sehingga memperburuk kondisi gizi mereka.

Pencemaran air, tanah, dan udara adalah faktor risiko terbesar terhadap kesehatan anak-anak. Kualitas lingkungan yang telah rusak akan mengganggu tumbuh kembang anak, sehingga menyebabkan stunting. 

Ekspansi tambang juga kerap menggusur lahan pertanian, ladang, atau hutan yang menjadi sumber pangan dan obat bagi masyarakat lokal. Wilayah yang terdampak tambang tidak memberikan banyak pilihan kepada masyarakat. Warga kehilangan akses terhadap sayuran, buah-buahan, ikan sungai, atau hasil kebun dan ladang yang dulu menopang asupan gizi keluarga. Sebagai gantinya, warga harus membeli makanan dari pasar yang minim pilihannya dan didominasi makanan instan rendah gizi.

Sayangnya, alih-alih menuntaskan akar permasalahan stunting dari sisi kualitas lingkungan, pemerintah Indonesia memilih untuk memberikan makanan gratis ke anak-anak. Dalam implementasinya, program tersebut menyertakan makanan ultra proses dan minuman kemasan dengan kadar gula tinggi. Pemerintahan Prabowo-Gibran mengklaim bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah solusi mengatasi stunting.

Nyatanya, program MBG selama ini malah meracuni anak-anak di Indonesia. Ada ribuan anak yang mengalami keracunan makanan dan harus dirawat intensif di rumah sakit karena mengonsumsi MBG. Dari sisi gizi tidak terpenuhi, sementara absennya anak beberapa hari dari sekolah karena dirawat adalah kerugian untuk pendidikan mereka.

Share the Post:

Related Posts