
Pulau-pulau kecil yang seharusnya menjadi benteng ekologis satu per satu dikapling, dijual, dan dibongkar untuk kepentingan tambang. Negara yang semestinya menjadi pelindung ruang hidup rakyat, justru bertindak sebagai sekutu modal, menyulap hukum menjadi alat legitimasi perampasan ruang hidup di pulau-pulau kecil.
Indonesia memang aktif di panggung internasional, seperti Deklarasi Stockholm 1972, Konferensi Rio 1992, Perjanjian Paris 2015, hingga Konferensi Lingkungan di Azerbaijan 2024 kemarin. Delegasi pemerintah selalu menyuarakan perlindungan lingkungan, masyarakat adat, dan keadilan pembangunan. Namun, komitmen tersebut kerap berakhir sebagai simbol formalitas diplomatik.
Berdasarkan catatan Jatam, saat ini terdapat 195 izin pertambangan di 35 pulau kecil dengan luas total konsesi 351.933 hektar. Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau yang luasnya sama dengan atau kurang dari 2.000 kilometer persegi atau sekitar 200.000 hektar. Menurut UU No. 1 Tahun 2014, pulau-pulau kecil tidak boleh ditambang dan pemanfaatannya hanya untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, dan lainnya.
Salah satu contoh tambang di pulau kecil adalah Pulau Gag di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau kecil seluas 6.500 hektare ini dikepung lima izin tambang nikel dengan luas konsesi 25.424 hektar, mencakup daratan dan laut sekitarnya. Izin terbesar dipegang PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam , yang mengantongi kontrak karya seluas 13.136 hektar hingga tahun 2047
Tak hanya berstatus pulau kecil, kawasan hutan di pulau Gag adalah hutan lindung. Artinya, telah terjadi deforestasi masif di pulau tersebut. Regulasi perlindungan pulau kecil telah dilonggarkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja, di mana semua perizinan berada di wewenang pemerintah pusat dan dokumen lingkungan, seperti AMDAL, tidak menjadi prioritas lagi.
Menurut laporan Kompas (8/6/2025), lahan seluas 262 hektar mengalami deforestasi sejak tahun 2017 lalu di Pulau Gag. Sedimentasi dari tambang menyebabkan terumbu karang mati, lamun rusak, hasil laut lenyap, dan penyakit kulit merebak.
Lebih tragis lagi, sebagian besar warga tak benar-benar menyetujui kehadiran tambang. Dalam laporan Kompas (8/6/2025), banyak warga Pulau Gag mengaku ditipu untuk menandatangani dokumen persetujuan di atas lahan kosong, tanpa penjelasan yang memadai. Tanda tangan yang kemudian dianggap sebagai persetujuan tambang dijadikan alat legitimasi perusahaan untuk melanjutkan operasi.
Pola serupa terjadi di berbagai pulau kecil lain. Di Pulau Sangihe, Mahkamah Agung telah membatalkan izin tambang PT TMS, namun perusahaan tetap berjalan. Di Wawonii, Sulawesi Tenggara, masyarakat yang menolak tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana justru dikriminalisasi menggunakan Pasal 162 UU Minerba. Pasal tersebut mengkriminalkan warga yang dianggap mengganggu aktivitas pertambangan. Padahal lokasi tambang tersebut berada di tanah adat.
Jatam mencatat 102 kasus kriminalisasi warga pulau kecil sepanjang 2017 hingga 2022. Hukum tidak lagi menjadi tempat berpijak bagi rakyat, melainkan senjata untuk menekan perlawanan. Perangkat hukum tidak menyediakan ruang yang adil bagi warga untuk menyatakan penolakan. Di sisi lain, perusahaan diperlengkapi dengan jaminan izin, keamanan dari aparat, serta berlindung di balik payung pembangunan.
Lebih jauh, negara kini hanya berpihak pada perusahaan dibandingkan menjamin keselamatan rakyat. Aparat TNI, Polisi, dan Satpol PP diturunkan untuk mengamankan tambang dan membungkam aksi protes, seperti yang terjadi di Wawonii, Kendeng, Lumajang, dan daerah lainnya. Inilah wajah nyata dari kekerasan negara untuk melanggengkan proyek-proyek ekstraktif.
Di ruang publik, pemerintah kerap membangun narasi bahwa penolak tambang adalah bentuk campur tangan pihak asing. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menuduh adanya pengaruh pihak asing dalam gerakan penolakan tambang. Bahkan, Prabowo berulang menyebut bahwa lembaga swadaya masyarakat (LSM) didanai asing yang ingin memecah belah Indonesia.
Narasi semacam itu bukan hanya manipulatif, tetapi berbahaya. Ia menyederhanakan persoalan kompleks menjadi tudingan subversif, sehingga mematikan hak konstitusional warga untuk menolak tambang nikel yang mengancam ruang hidup mereka. Dalam negara demokratis, penolakan bukanlah bentuk permusuhan terhadap negara, melainkan ekspresi dari cinta pada tanah air dan keberanian menjaga masa depan bersama.
Rakyat memiliki hak untuk menolak pertambangan yang akan menghancurkan lingkungan tempat tinggal mereka. Apabila hak tersebut dicabut paksa, rakyat kehilangan daya tawar atas tanah, hutan, dan laut mereka. Pulau-pulau kecil tak hanya menjadi korban tambang, tetapi bukti gagalnya negara melindungi pihak yang paling rentan. Jika negara terus berpihak pada korporasi dan membungkam perlawanan rakyat, maka persoalan tambang bukan sekadar menjaga lingkungan, melainkan tentang hilangnya kedaulatan, keadilan, dan kemanusiaan itu sendiri.
- Penulis: Fajar Sanintan
- Editor: Yoesep Budianto