
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, komitmen perlindungan lingkungan dan ruang hidup masyarakat oleh pemerintah runtuh. Salah satu kawasan yang terdampak adalah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), secara tegas melarang perubahan bentang alam dan eksploitasi sumber daya yang dapat merusak daya dukung ekologis pulau kecil, khususnya yang berukuran di bawah 2.000 km persegi. Alih-alih memperkuat perlindungan, pemerintah justru mengendurkan regulasi. Kini UU Cipta Kerja menjadi alat hukum yang melegalkan aktivitas tambang, reklamasi, dan industri ekstraktif lainnya, bahkan di kawasan lindung dan konservasi.
Menurut catatan Auriga dan WALHI, lebih dari 20 persen wilayah pulau kecil di Indonesia kini telah masuk dalam konsesi tambang pada tahun 2021. Peta konflik dari berbagai wilayah pesisir Pulau Wawonii, Pulau Obi, Pulau Romang, hingga Pulau Gag di Raja Ampat, menunjukkan bahwa negara semakin abai terhadap lingkungan dan rakyatnya. Selain tambang, persoalan reklamasi juga menyebabkan lebih dari 747.000 keluarga nelayan terdampak. Di satu sisi, pemerintah memiliki target proyek reklamasi dan tambang lebih dari 12 juta hektar hingga 2040.
Laporan Mongabay berjudul “Mangrove dan Lamun, Ekosistem Penting di Wilayah Pesisir Laut” yang terbit tahun 2022 menyebut bahwa kawasan pesisir dan pulau kecil adalah penyimpan karbon biru terbesar di Indonesia, melalui ekosistem mangrove dan lamun. Ketika wilayah ini dikonversi menjadi pelabuhan tambang atau pabrik smelter, maka yang terjadi bukan penurunan emisi, melainkan lonjakan karbon. Transisi energi yang digembar-gemborkan negara pun tak lebih dari greenwashing, menindas komunitas akar rumput demi legitimasi proyek kapital.
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat bahwa Pasal 26A ayat 1 pada UU No 1 tahun 2014 yang merubah UU pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dapat membuka jalan bagi privatisasi ruang laut dan pulau kecil oleh penanaman modal asing (PMA), hal yang sangat bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Padahal, wilayah pesisir adalah ruang hidup utama bagi komunitas adat, nelayan kecil, dan perempuan pesisir yang menggantungkan hidup dari laut.
Studi KIARA dan JATAM menunjukkan bahwa nelayan menjadi kelompok paling terdampak akibat ekspansi tambang di pesisir dengan kehilangan akses laut dan hasil tangkapan. Masyarakat pesisir tidak diakui sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Pemanfaatan kawasan pesisir jauh lebih diprioritaskan untuk industri ekstraktif, padahal masyarakat lokal telah hidup berdampingan dengan laut dan menjaga sumber daya kelautan berbasis keberlanjutan.
Sayangnya, UU Cipta Kerja menyingkirkan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang berdampak pada hilangnya hak atas ruang hidup masyarakat lokal dan kriminalisasi saat menolak proyek. FPIC adalah hak kolektif masyarakat adat untuk menyetujui atau menolak proyek yang berdampak kehidupan mereka dengan memperjuangkan nilai kedaulatan adat, perlindungan budaya, dan mencegah eksploitasi serta perampasan atas nama pembangunan dengan prinsip kebebasan, keterlibatan awal, dan informasi penuh. Prinsip ini ditegaskan dalam konferensi ILO No.169 (1989) yang diperkuat oleh deklarasi PBB mengenai hak masyarakat adat (UNDRIP) tahun 2007.
UU Cipta Kerja terbukti menjadi alat untuk melegitimasi praktik-praktik ilegal dalam pemanfaatan sumber daya alam. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 juga menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, sayangnya tidak direspons pemerintah dengan koreksi substansial. Justru, pemerintah mengesahkan UU No. 6 Tahun 2023 yang mempertahankan arah deregulasi sebelumnya.
Upaya pengrusakan lingkungan terbukti dari penghapusan izin lingkungan sebagai instrumen mandiri dan mengintegrasikannya ke dalam sistem perizinan dengan menyederhanakan izin menjadi sekadar “persetujuan lingkungan” sebagai bagian dari perizinan berusaha.Selain itu, dalam proses AMDAL sebelumnya, partisipasi publik yang dulu melibatkan masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan, dan pemangku kepentingan dipersempit hanya untuk masyarakat yang terdampak langsung.
Deregulasi perizinan dan penyederhanaan analisis dampak lingkungan (AMDAL) menyebabkan aktivitas tambang, industri, dan perkebunan skala besar dapat beroperasi tanpa syarat ekologis yang ketat. Akibatnya, kawasan dengan fungsi lindung justru mengalami degradasi, kehilangan keanekaragaman hayati, serta memicu bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan kekeringan seperti yang terjadi di Pulau Wawonii, Obi, dan Gag.
Sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat di dalam UU Cipta Kerja juga mengabaikan otonomi daerah dan kearifan lokal, serta menimbulkan tumpang tindih kebijakan. Di Pulau Gag, meski izin empat perusahaan nikel dicabut, PT Gag Nikel tetap beroperasi, contoh nyata dari perlindungan lingkungan yang setengah hati dan pengabaian hak masyarakat adat. Pemerintah daerah tidak punya kuasa apapun untuk menolak keputusan pemerintah pusat.
Lebih parah lagi, Pasal 162 UU Minerba di dalam UU Cipta Kerja diperkuat untuk mengkriminalisasi warga yang menolak tambang. Siapa pun yang dianggap menghalangi kegiatan tambang bahkan di wilayah adat atau konservasi dapat dipidana penjara hingga satu tahun atau denda hingga Rp 100 juta. Padahal, pasal-pasal kunci, seperti Pasal 60 UU PWP3K menegaskan kewajiban masyarakat melaporkan kerusakan lingkungan. Sayangnya, ketika warga bertindak sesuai undang-undang, mereka justru dikriminalisasi.
Dalam revisi UU No. 32 Tahun 2009 di UU Cipta Kerja, sanksi terhadap pelaku pencemaran bahkan dilemahkan, sehingga memungkinkan pelaku pencemaran lolos dari sanksi. Kini, perusahaan cukup memperoleh persetujuan lingkungan tanpa evaluasi menyeluruh. Kasus pencemaran logam berat kromium di Pulau Obi adalah contoh nyata di mana kandungan pencemar di sumber air mampu menyebabkan kanker dan cacat bawaan, sayangnya belum ada sanksi tegas terhadap perusahaan tambang tersebut.
Selain tambang, UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi juga direvisi oleh UU Cipta Kerja, mengizinkan eksploitasi di kawasan hutan konservasi dan laut. Ini membuka peluang eksploitasi lebih luas, bahkan di zona inti kawasan konservasi. Kita menyaksikan bagaimana hukum lingkungan berubah menjadi instrumen legitimasi bagi eksploitasi oleh pemerintah. Ketika hukum tak lagi berpihak pada lingkungan dan rakyat, maka ruang hidup menjadi medan konflik antara komunitas dan korporasi. Maka, perjuangan atas hak ruang hidup tidak bisa hanya bertumpu pada teks hukum, melainkan juga pada konsolidasi gerakan rakyat yang menuntut keadilan ekologis sejati.
- Penulis: Fajar Sanintan
- Editor: Yoesep Budianto