Penghujung tahun 2024 sepertinya menjadi tahun akumulasi kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi dalam persoalan reforma agraria. Rentetan peristiwa, baik yang terjadi di level kebijakan maupun situasi di lapangan, sama sekali tidak memberikan gambaran perlindungan bagi segenap warga negara, khususnya petani dan masyarakat adat.
Berbagai peristiwa konflik agraria dan kekerasan terhadap rakyat terus bergulir di penjuru Nusantara. Celakanya, fenomena ini menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2024 ini, setidaknya ada 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar. Korban yang terdampak bahkan sebanyak 1,75 juta rumah tangga.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (2023), sumber-sumber agraria terutama tanah, air, dan hutan, kini dikuasai oleh segelintir orang saja. Tercatat 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kelapa sawit, kemudian 10 juta hektar tanah dikuasai pengusaha tambang, dan setidaknya 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan nasib petani Indonesia yang tengah mengalami guremisasi. Saat ini setidaknya ada 17,24 juta petani gurem yang hanya menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar, sisanya adalah buruh tani dan tidak memiliki tanah. Sistem penguasaan dan distribusi tanah tidak dikelola dengan adil dan transparan di Indonesia.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut bahwa saat ini petani Indonesia sedang berada pada fase krisis agraria. Hal tersebut ditandai oleh tiga hal. Pertama, semakin meningkatnya konflik tanpa jalan penyelesaian berkeadilan bagi petani. Kedua, semakin mudahnya perampasan tanah rakyat yang difasilitasi sejumlah regulasi oleh pemerintah. Ketiga, semakin besarnya ketimpangan penguasaan lahan.
Sepanjang periode 2015-2023, konflik agraria yang terkait sektor pertanian mencapai 152 kasus. Luasan lahan sawah dan kebun yang terdampak konflik adalah 77,5 ribu hektar. Sementara korban yang berasal dari petani sebanyak 46,2 ribu keluarga.
Penguasaan lahan oleh petani menjadi polemik dari tahun ke tahun. Berdasarkan Survei Persepsi Petani 2024 oleh LaporIklim, menyebutkan bahwa kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar cukup signifikan di kalangan petani, yaitu 39,8 persen. Sementara frekuensi panen dominan hanya dua kali dalam setahun dengan berat panen berkisar 1-2 ton saja.
Tantangan petani sangatlah besar, tidak hanya tentang penguasaan lahan, melainkan persoalan kesejahteraan yang masih menjadi angan-angan hingga sekarang. Sektor pertanian menempati posisi terendah dari sisi pendapatan dibandingkan sektor industri dan jasa. Badan Pusat Statistik mencatat selama dua tahun terakhir, rata-rata pendapatan petani hanya Rp 1,45 juta per bulan.
Angka tersebut jauh dibandingkan sektor industri yang 27 persen lebih besar pendapatannya. Bahkan, sektor jasa mendapatkan penghasilan 50 persen lebih tinggi. Karenanya, tak heran apabila rumah tangga miskin di Indonesia didominasi keluarga petani. Sensus Pertanian 2023 mengungkap bahwa 48,9 persen rumah tangga miskin berasal dari keluarga dengan sumber penghasilan utama sebagai petani.
Petani terus terhimpit dari berbagai sisi, bahkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak berpihak kepada mereka. Pengesahan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi titik nadir pengelolaan pertanian yang berkelanjutan. Bahkan, pemerintah memulai pembangunan food estate di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah yang bertolak belakang dengan sistem-sistem pertanian lokal dan memaksa petani di wilayah tersebut untuk meninggalkan budaya tanam mereka.
Tak berselang lama, pada tahun 2021 pemerintah mengesahkan sembilan peraturan yang justru mempercepat perampasan tanah. Sembilan aturan tersebut mulai dari PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, PP 124/2021 tentang Modal Badan Bank Tanah, PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, PP 40/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, hingga PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional.
Berbagai persoalan tersebut berimbas pada hilangnya keseimbangan antara pengelolaan berbasis masyarakat dengan lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut bahwa pemerintahan Joko Widodo dipenuhi catatan atas kondisi krisis ekologi di Indonesia. Pemulihan kondisi lingkungan, krisis iklim, hingga perlindungan hak asasi manusia dianggap jalan di tempat, bahkan mengalami kemunduran.
Tata kelola lahan telah diserahkan kepada kepentingan investasi. Akibatnya, krisis multidimensional (lingkungan dan iklim) melahirkan ribuan bencana ekologis, sehingga mempercepat laju krisis ekonomi dan sosial di Indonesia. Bencana ekologis merupakan gambaran jelas tentang kegagalan sistem negara dalam melakukan pengelolaan alam.
Berdasarkan data WALHI, sepanjang periode 2015-2022, bencana ekologis di Indonesia terjadi setidaknya 3.457 kali setiap tahunnya. Catatan terbesarnya berada pada tahun 2021, yaitu mencapai 5.402 kejadian. Rata-rata jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 1.274 jiwa setiap tahunnya. Sementara korban luka, mengungsi, dan terdampak jauh lebih besar, yaitu sekitar 5,4 juta jiwa setiap tahun (Ghofar, A. dkk., 2023).
Akibat pengelolaan lahan yang dilakukan secara asal-asalan, ribuan bencana ekologis tersebut mengakibatkan kerugian sangat besar bagi negara. Rata-rata kerugian negara sepanjang periode 2015 hingga 2022 sebesar Rp 12,65 Triliun. Besarnya kerugian akibat bencana tentu tidak sepenuhnya diganti oleh negara, sehingga dapat dibayangkan besarnya kehilangan warga atau petani yang terdampak bencana.
Seluruh penderitaan yang dialami petani adalah imbas dari rendahnya komitmen pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria. Perampasan-perampasan lahan malah sering dilakukan oleh pemerintah, padahal lahan yang produktif dan petani yang sejahtera adalah tumpuan ketahanan pangan nasional. Peringatan Hari Tani seyogyanya menjadi momentum untuk menguatkan komitmen penyelesaian konflik agraria di seluruh Indonesia.