
Bayangkan desa yang dikelilingi kekayaan tambang, namun anak-anaknya kesulitan bersekolah. Bayangkan industri raksasa yang menyumbang hampir 10 persen PDB nasional, namun puskesmas di sekitar lokasi industri justru langka. Inilah potret nyata yang diungkap laporan CELIOS-Greenpeace tentang desa-desa pertambangan di Indonesia. Kontribusi besar sektor ini pada perekonomian nasional ternyata berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Fasilitas pendidikan di desa tambang terus menyusut. Rata-rata jumlah sekolah formal per desa turun dalam beberapa tahun terakhir. Bandingkan dengan desa non-tambang yang justru bertambah sekolahnya. Banyak anak terpaksa putus sekolah setelah SMP, tak mampu melanjutkan ke SMA karena jaraknya terlalu jauh dari desa mereka. Ironisnya, rendahnya akses pendidikan berujung pada pernikahan dini yang memutus rantai harapan masyarakat.
Tak hanya pendidikan, layanan kesehatan juga terabaikan. Jumlah puskesmas di desa tambang jauh lebih sedikit dibanding desa lain. Imbasnya, layanan kesehatan di rumah sakit menjadi barang mewah. Minimnya puskesmas juga menunjukkan bahwa tenaga kesehatan hanya sedikit dan sangat terbatas.
Beban kesehatan begitu berat ditanggung masyarakat di desa tambang. Mereka terpaksa menggunakan air yang tercemar limbah tambang untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai contoh, desa di kawasan Makroman, Samarinda, Kalimantan Timur, warganya menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, diare, dan hipertensi yang berkaitan erat dengan polusi udara dan air akibat aktivitas tambang.
Desa-desa di Wawonii, Sulawesi Tenggara juga mengalami hal serupa. Tambang nikel telah mengubah mata air di pulau kecil itu menjadi air mata. Warga sekitar tidak bisa lagi menggunakan air bersih karena sumber mata airnya lenyap. Bukan hanya air, udara bersih juga sudah tidak aman akibat debu-debu dari operasional tambang. Dampak lain dari pencemaran udara tersebut adalah penurunan produksi pertanian warga. Debu-debu halus menutupi permukaan daun tumbuhan, sehingga pertumbuhannya terhambat.
Petaka tambang juga dirasakan desa-desa di Kerta Buana, Kalimantan Timur, di mana limbah tambang merusak irigasi tradisional. Sawah yang dulu menghasilkan sepuluh ton padi, kini hanya mampu menghasilkan empat ton per musim tanam. Tak hanya itu, keseimbangan alam yang terganggu menyebabkan banjir dan kekeringan parah. Bagi masyarakat desa di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan penambangan pasir laut merusak daerah tangkapan ikan. Pendapatan nelayan merosot drastis, memicu utang dan konflik rumah tangga. Mata pencaharian tradisional hancur tanpa terbuka alternatif yang memadai.
Ekonomi lokal masyarakat desa pun terisolasi karena tambang. Masyarakat tidak diberikan pilihan lain di tengah eksploitasi tambang yang tengah berlangsung. Bahkan dari sisi digital, desa tambang juga tertinggal dalam ekonomi digital karena lemahnya sinyal internet dan minimnya menara BTS (Base Transceiver Station). Jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun jauh lebih sedikit dibandingkan desa lain. Akhirnya, keterbatasan akses kredit memperparah keadaan.
Kesejahteraan dari ekonomi tambang yang dijanjikan ternyata rapuh dan menyisakan duka mendalam. Kesesatan logika ekonomi ekstraktif yang sama kini mengancam mutiara terakhir Indonesia, yaitu Raja Ampat. Ada klaim besar tentang manfaat ekonomi penambangan nikel, termasuk pendapatan asli daerah (PAD) yang fantastis. Namun, realitanya pendapatan daerah tahun 2024 turun separuh dari klaim awal. PAD ditargetkan sedikitnya lebih dari Rp 1 triliun, namun hanya mencapai Rp 565 miliar. Gambaran nyata dari janji-janji yang seringkali menguap.
Nilai ekonomi jangka panjang dari konservasi Raja Ampat justru luar biasa besar. Kajian CELIOS-Greenpeace juga menunjukkan potensi nilai ekonomi dari upaya konservasi selama 50 tahun ke depan bisa mencapai angka yang sangat besar, jauh melampaui nilai ekonomi yang dijanjikan dari penambangan nikel. Lebih penting lagi, manfaat ekonomi konservasi ini berkelanjutan dan merata, tidak seperti keuntungan tambang yang sebagian besar mengalir ke kelompok elit, korporasi asing, dan pihak-pihak yang terlibat dalam penghancuran lingkungan tersebut.
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, ia hadir sebagai laboratorium hidup yang menampung lebih dari 75 persen jenis terumbu karang dunia dan lebih dari 1.500 spesies ikan. Kehilangannya adalah bencana ekologis permanen. Selama ini pengelolaan kawasan Raja Ampat berbasis masyarakat adat yang terbukti efektif dan berkelanjutan. Inilah bukti nyata kekuatan pendekatan restoratif. Artinya, tambang di kawasan sepenting ini bukan hanya tak etis, tetapi juga merupakan kecacatan intelektual dan ekonomi.
Potret desa tambang yang terpuruk dan Raja Ampat adalah bukti tak terbantahkan bahwa ekonomi ekstraktif adalah jalan buntu. Tambang menawarkan kesejahteraan semu, fatamorgana yang justru merampas masa depan, merusak lingkungan, menghambat pendidikan dan kesehatan, mematikan ekonomi lokal, dan meretakkan tatanan sosial.
Manfaat jangka pendek ekonomi ekstraktif tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang yang diderita masyarakat dan alam. Jalan keluar yang berkelanjutan dan adil bernama ekonomi restoratif. Inilah model yang berfokus pada pemulihan lingkungan, pemberdayaan manusia, dan pemanfaatan sumber daya secara bijak dan lestari.
Untuk mencapainya, langkah konkret diperlukan dalam penegakan hukum lingkungan yang tegas dengan standar lingkungan harus diperketat secara signifikan. Pengawasan terhadap limbah dan reklamasi pascatambang harus dilakukan secara aktif, independen, dan transparan. Reklamasi harus benar-benar mengembalikan fungsi ekologis, bukan sekadar formalitas.
Diversifikasi ekonomi perlu berlandaskan kebutuhan dan potensi desa. Sementara bagi desa yang berada di kawasan tambang harus segera diberikan alternatif ekonomi lain. Pertanian modern yang ramah lingkungan, pariwisata berkelanjutan yang mengangkat kearifan lokal, dan penguatan UMKM dengan akses permodalan yang mudah adalah kuncinya.
Potensi ekonomi konservasi seperti di Raja Ampat seharusnya menjadi prioritas investasi dan model pengembangan ekonomi di kawasan dengan karakteristik geografis yang serupa.Transparansi mutlak dalam pengelolaan sumber daya alam harus ditegakkan, misalnya dengan mengadopsi prinsip-prinsip Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Masyarakat lokal dan adat harus dilibatkan secara bermakna dalam setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup dan sumber daya mereka.
Indonesia sekarang berdiri di persimpangan jalan antara fatamorgana kesejahteraan ekonomi ekstraktif yang menyisakan kehancuran dengan langkah progresif untuk menguatkan ekonomi restoratif yang menghargai manusia, memulihkan alam, dan menjamin keadilan. Memulihkan desa-desa tambang dan menyelamatkan Raja Ampat bukan hanya kebijakan yang cerdas, ini adalah ujian dalam peradaban kita. Saatnya memilih pemulihan, bukan pemusnahan.
- Penulis: Adli Firlian Ilmi
- Editor: Yoesep Budianto