Proyek food estate yang digagas pemerintah sebagai solusi ketahanan pangan malah menyebabkan banyak kerusakan di kawasan hutan Indonesia. Kegagalan demi kegagalan yang terjadi terus diabaikan tanpa ada evaluasi menyeluruh.
Pembukaan kawasan hutan demi proyek food estate telah menghancurkan ekosistem hutan dan lahan gambut. Tak hanya itu, keanekaragaman hayati dan sumber pangan masyarakat lokal dirampas paksa oleh pemerintah. Akhirnya, kawasan hutan yang rusak menjadi sumber emisi utama gas rumah kaca.
Dalam sejarahnya, proyek food estate telah dilakukan sebanyak tiga kali. Bahkan, untuk pemerintahan Prabowo, proyek ini akan dilanjutkan dengan menambah luasan hingga jutaan hektar di Papua Selatan. Padahal, selama hampir 30 tahun semua proyek pembangunan ketahanan pangan melalui food estate terbukti gagal.
Pertama kali, proyek ini dilakukan pada tahun 1995 oleh Soeharto melalui Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Saat itu, pembukaan lahan gambut menyebabkan kebakaran hutan massif. Bahkan, kebakaran-kebakaran yang terjadi saat ini semuanya berada di kawasan PLG.
Program PLG berada di Kabupaten Kapuas dengan lokasi cetak sawah baru seluas 3.000 hektar. Bahkan, pemerintah mengirimkan transmigran asal Jawa sebanyak 64.000 jiwa untuk menjadi petani penggarap. Namun, PLG tidak dilanjutkan dengan status gagal tahun 1998, lantaran kurangnya kajian sosio-ekologi, ekosistem gambut, serta pelibatan masyarakat lokal.
Berdasarkan pemberitaan Tempo (18 Agustus 2023), kawasan PLG justru sebagian berubah menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Fakta lainnya, proyek PLG menelan anggaran Rp 1,7 triliun dari Dana Reboisasi yang seharusnya diperuntukkan bagi pemulihan hutan.
Gagalnya PLG menjadi catatan kelam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, sekaligus menunjukkan bahwa pembukaan lahan untuk komoditas pangan tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan matang. Perencanaan ini meliputi riset kualitas lahan, pilihan benih unggul, kondisi cuaca, hingga situasi sosial ekonomi masyarakat setempat.
Pengulangan program lumbung pangan dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2008 silam. Program tersebut bernama Merauke Integrated Energy Estate (MIFEE) yang diterbitkan melalui Inpres No.5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 dan Inpres No.1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
Luas kawasan hutan di Merauke, Papua, yang dibabat mencapai 1,2 juta hektar. Saat itu semua pengelolaan diserahkan ke pihak swasta dengan total sekitar 36 investor. Iming-iming yang ditawarkan oleh pemerintahan SBY adalah Indonesia akan memiliki tambahan cadangan pangan hingga jutaan ton dari berbagai macam komoditas pangan, serta perekonomian daerah akan meningkat drastis.
Namun, itulah jerat iming-iming pemerintah kepada masyarakat lokal. Proyek MIFEE pun gagal total dan meninggalkan permasalahan pelik bagi masyarakat lokal di Merauke. Berdasarkan pemberitaan Kompas (4 Januari 2021), kehidupan suku Malind Anim di kawasan terdampak proyek MIFEE berubah total. Kebebasan sebagai masyarakat adat direnggut paksa oleh perusahaan-perusahaan. Hutan sebagai sumber penghidupan telah dirampas.
Pemeritahan Joko Widodo tampak menutup mata terhadap semua kegagalan dan penderitaan masyarakat lokal akibat proyek food estate. Proyek tersebut diteruskan dengan dibukanya lahan seluas sekitar 30.000 hektar di Kalimantan Tengah mulai akhir tahun 2020. Saat itu, target utama lokasinya berada di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas.
Demi memperlancar eksekusi proyek food estate, Kementerian Pertanian memobilisasi mesin pertanian berupa 1.200 traktor ke lokasi. Salah satu komoditas utamanya adalah singkong yang direncanakan untuk olahan tepung tapioca. Mirisnya, semua tanaman singkong mengalami gagal tanam, bahkan banyak yang tidak menghasilkan sama sekali. Kegagalan itu diperparah dengan digantinya singkong dengan jagung, namun ditanam menggunakan plastik polibag hitam.
Kegagalan demi kegagalan food estate terus berlanjut. Banyak hasil panen di lahan food estate yang tidak memenuhi target yang telah ditetapkan. Sayangnya, semua proyek food estate ini memang kental dengan muatan politik, di mana urgensi pembahasan hanya masif di tahun-tahun transisi pemerintahan.
Greenpeace menyebut bahwa proyek food estate adalah kegagalan massal Presiden Joko Widodo dan para menterinya, khususnya dalam menjaga komitmen iklim selama menjalan program pemerintahan dua periode ini. Kerusakan lingkungan dan perampasan hak-hak masyarakat adat adalah bukti kegagalan tersebut. Alih-alih menguatkan ketahanan pangan, food estate hanya menambah penderitaan masyarakat lokal.
Pepatah “Habis gelap terbitlah terang” sepertinya tidak berlaku untuk proyek food estate di Indonesia. Dengan minimnya evaluasi dan pertanggungjawaban oleh pemerintah, proyek tersebut tetap dilanjutkan di masa pemerintahan Prabowo Subianto. Program yang dipilih adalah Cetak Sawah dengan skema pelaksanaan Kerjasama antara petani, swasta, dan TNI.
Berdasarkan pemberitaan Kompas (18 Oktober 2024), program Cetak Sawah akan dijalankan selama tiga tahun dengan target 3 juta hektar. Seluas satu juta hektar akan dibuka di Papua Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Kemudian berlanjut hingga tiga tahun ke depan.
Ketahanan pangan yang ingin dicapai pemerintah Indonesia belum membuahkan hasil sama sekali. Dua komoditas utama pertanian, yaitu beras dan jagung, masih impor setiap tahunnya. Selama enam tahun terakhir, total pemerintah telah mengimpor sebanyak 6,95 juta ton beras. Tak kalah banyak, impor jagung malah mencapai 7,71 juta ton sepanjang periode 2018-2023.
Jutaan ton beras dan jagung yang diimpor membanjiri pasaran dalam negeri. Alhasil, kesejahteraan petani terpengaruh. Bahkan, berdasarkan Survei Persepsi Petani 2024 sebanyak 45,4 persen petani mengaku bahwa pendapatan mereka tidak meningkat selama sepuluh tahun terakhir. Impor hanyalah solusi jangka pendek yang tidak mampu menyelesaikan pokok permasalahan pertanian dan pangan di Indonesia.
Sebenarnya, proyek food estate sangat penting bagi ketahanan pangan sebuah negara. Namun, tujuan mulia ketahanan pangan, di mana tidak ada rakyat yang kelaparan, mungkin hanya akan menjadi angan-angan belaka karena buruknya pengelolaan dan evaluasi oleh pemerintah. Tantangan perubahan iklim menambah beban bagi proyek food estate yang minim riset dan kajian. Apabila tidak ada perbaikan, maka lumbung pangan akan menjadi limbung pangan.