
Pemerintah Indonesia secara resmi mengintegrasikan energi nuklir ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, dengan target operasional perdana reaktor modular kecil (SMR) di Kalimantan pada tahun 2030–2032. Kebijakan strategis ini ditujukan untuk mendukung komitmen Net Zero Emission (NZE) 2060 dan memenuhi proyeksi kebutuhan listrik nasional yang diprediksi mencapai sedikitnya 1.800 TWh pada tahun 2060.
Nuklir diharapkan menyumbang 4–5,4 persen dari bauran energi nasional, setara dengan 40–54 GW dari total kapasitas pembangkit yang ditargetkan 400 GW. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menjadi opsi pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan listrik di masa mendatang. Namun, apakah opsi PLTN ini mampu mendatangkan keadilan dalam transisi energi?.
Setidaknya ada dua persoalan yang menjadi pijakan publik dalam mengkritisi penggunaan nuklir tersebut, yaitu risiko lingkungan dan konflik agraria. PLTN memiliki risiko lingkungan hidup yang besar bila terjadi kecelakaan industri. Indonesia memiliki pengalaman terkait kecelakaan industri ini. Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah salah satu kecelakaan industri terbesar di sektor energi yang hingga kini masih menyisakan kerusakan ekologi bagi masyarakat sekitar.
Tragedi Lumpur Sidoarjo (Lapindo) yang dimulai tahun 2006 menjadi peringatan nyata tentang dampak kelalaian dalam proyek teknologi tinggi. Kegagalan analisis geologi dan pengawasan operasional menyebabkan semburan lumpur panas hingga 19 tahun, dan telah menenggelamkan sekitar 16.000 hektar lahan produktif, mengusir 60.000 warga, dan menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 100 triliun.
Bencana ini menunjukkan bahwa apapun bentuk kelalaian dalam proyek berisiko tinggi dapat berujung fatal. Jika hal serupa terjadi di PLTN, dampak radiasi bisa meluas lintas wilayah dan bertahan lama. Risiko semacam ini tidak boleh diremehkan. Keselamatan publik dan ekosistem harus menjadi prioritas mutlak dalam setiap rencana energi nuklir.
Faktor sumber daya manusia juga menjadi kendala yang besar bagi Indonesia. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) saat ini hanya memiliki 157 inspektur yang tersertifikasi, padahal satu PLTN skala komersial membutuhkan minimal 56 inspektur terlatih sesuai standar Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Sementara itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki 965 peneliti nuklir, namun sebagian besar berpengalaman di reaktor riset skala kecil. Untuk menutupi defisit ini, pemerintah mengandalkan pelatihan internasional di Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang, serta mengembangkan kurikulum khusus di Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia.
Ancaman secara geologi juga terbilang besar untuk PLTN. Indonesia terletak di cincin api Pasifik dengan 127 gunung api aktif dan aktivitas seismik tinggi. Meskipun dipilih lokasi dengan potensi kecil bencana geologi, namun pemetaan risiko gempa di Indonesia masih sangat minim. Banyak zona sesar yang belum terpetakan. Erupsi gunung api juga mengancam apabila hujan abu terjadi di kawasan reaktor nuklir.
Persoalan selanjutnya adalah potensi konflik agraria dengan masyarakat lokal. Rencana pembangunan PLTN di Kalimantan mendapatkan penolakan dari masyarakat adat setempat. Pada tahun 2024, masyarakat adat Kalimantan Barat secara tegas mengeluarkan pernyataan menolak PLTN. Potensi konflik agraria dengan masyarakat sekitar dapat bertambah besar, apalagi saat pemerintah dan DPR belum secara penuh mengakui, melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat melalui pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Peningkatan porsi energi terbarukan dalam RUPTL PLN 2025-2034, di satu sisi membawa angin segar dalam transisi energi. Namun, angin segar itu akan berubah menjadi bencana bila kemudian pemerintah mengabaikan aspek keadilan, baik keadilan sosial dan ekologi. Publik perlu tetap bersikap kritis terhadap RUPTL PLN 2025-2034, agar angka-angka peningkatan energi hijau bukan sekadar formalitas dan mengorbankan keadilan bagi keberlanjutan lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal.
- Penulis: Adli Firlian Ilmi
- Editor: Yoesep Budianto