Perubahan iklim mampu mengurangi hasil panen dan menurunkan kesehatan petani. Sayangnya, hal itu luput dari perhatian para pihak.
Suhu harian yang memanas dan mencapai rekor terpanas dalam setahun terakhir menjadi tantangan besar bagi petani di berbagai wilayah Indonesia. Selain lebih banyak kejadian gagal panen karena kekeringan, panas menyengat turut meningkatkan risiko kesehatan petani.
Berdasarkan catatan Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS, NASA, dan Copernicus Uni Eropa, bulan Agustus 2024 menandai bulan ke-15 dengan rekor suhu global tertinggi secara berturut-turut. Akibatnya, cuaca ekstrem, seperti panas menyengat, hujan ekstrem, dan kekeringan panjang, menimbulkan kehancuran di banyak negara, termasuk Indonesia.
BMKG mencatat sejumlah kejadian suhu ekstrem di beberapa tempat pada tahun ini, seperti Kota Medan (37 derajat celsius), Saumlaki di Maluku (37,8 derajat celsius), dan Kota Palu (36,8 derajat celsius) sekitar bulan April-Mei kemarin. Sementara pada bulan Agustus 2024, lima wilayah dengan suhu rata-rata tertinggi berada di Palembang, Jakarta Pusat, Anambas, Semarang, dan Cirebon.
Suhu bulanan sepanjang tahun 2024 terpantau jauh lebih tinggi dari rata-rata suhu bulanan selama periode 1991-2020. Rata-rata kenaikan suhu tahun 2024 sebesar 0,7 derajat celsius. Anomali terbesar muncul bulan Februari 2024, di mana suhu bulanan saat itu naik satu derajat celsius dibandingkan periode 1991-2020.
https://laporiklim.wargaberdaya.org/berita/merananya-nasib-petani-indonesia/
Pemanasan global yang terjadi menyebabkan makin besarnya dampak krisis iklim, salah satunya penurunan produktivitas padi. Studi yang dilakukan Litbang Kompas pada tahun 2023 menyebutkan bahwa setiap kenaikan suhu udara sebesar satu derajat celsius selama setahun akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di setiap provinsi di Indonesia.
Studi tersebut dilakukan melalui pemodelan regresi data panel yang mengombinasikan data runtut waktu empat tahunan sepanjang periode 2002 hingga 2022 di 34 provinsi. Sementara dari pantauan Badan Pangan Dunia dan Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami tujuh kali kondisi kering esktrem. Akibatnya, produksi padi nasional turun hingga 7,76 persen.
Kenyataan pahit yang harus dialami oleh petani di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, luas lahan panen tahun 2023 tercatat turun hingga 2,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ada sekitar 239.000 hektar sawah yang gagal panen. Produksi padi juga turun sebanyak 768.000 ton.
Suhu udara yang makin panas terus menekan petani dari segala sisi. Implikasi lanjutannya adalah tekanan ekonomi yang terasa berat setiap tahunnya. Sektor pertanian menempati posisi terendah dari sisi pendapatan dibandingkan sektor industri dan jasa. BPS mencatat selama dua tahun terakhir, rata-rata pendapatan petani hanya Rp 1,45 juta.
Pendapatan pekerja di sektor industri 27 persen lebih besar dari petani. Sementara sektor jasa mendapat penghasilan 50 persen lebih tinggi. Maka tak heran apabila rumah tangga miskin di Indonesia didominasi keluarga petani. Sensus Pertanian 2023 menyebut 48,9 persen rumah tangga miskin berasal dari keluarga dengan sumber penghasilan utama sebagai petani.
Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya petani Indonesia yang masuk ke sektor informal. Sepanjang satu dekade terakhir, setidaknya 88 persen petani di negara ini berstatus informal yang lekat dengan minimnya perlindungan hukum, sosial, kesehatan, dan ekonomi. Pekerja informal menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan iklim.
Bahkan, dengan tren perubahan iklim yang terus memburuk saat ini, petani masih jauh dari skema perlindungan tenaga kerja. Jenis pekerjaan yang dilakukan di bawah terik matahari mampu menyebabkan kerusakan fungsi tubuh. Banyak dari mereka yang berjuang hidup di tengah paparan suhu panas.
Berdasarkan pemberitaan Kompas (Sabtu, 15/06/2024), setidaknya ada empat petani yang ditemukan meninggal saat di sawah pada tahun 2019 lalu. Seluruh kejadian kematian tersebut dilaporkan pada siang hari, di mana cuaca sangat panas dan berada pada periode musim kemarau. Selain kematian, saat ini petani juga mengeluhkan badan terasa lebih cepat lelah saat bekerja di sawah.
Sebuah penelitian yang dirilis di One Earth Journal pada Maret 2024 menunjukkan bahwa saat tubuh manusia berada di bawah panas ekstrem, ada lima respons utama, yaitu berkeringan dan kehilangan cairan berlebih, pelebaran pembuluh darah dan penurunan tekanan darah, cardiovascular strain dan pulmonary stress, iskemia dan kematian sel, serta peningkatan denyut jantung.
Seluruh efek panas ekstrem ke tubuh manusia bermuara pada tiga hal, yaitu penurunan fungsi tubuh yang diikuti berkurangnya produktivitas, kelelahan dan sakit karena cedera organ tubuh, serta kematian. Ironisnya, petani Indonesia minim sekali perlindungan terhadap risiko yang muncul karena perubahan iklim.
Itulah gambaran beratnya petani Indonesia yang mengalami tekanan sepanjang satu dekade terakhir, mulai dari ekonomi, hukum, kesehatan, dan lingkungan. Sayangnya, keluhan petani dianggap sebelah mata dan banyak persoalan yang akhirnya luput dari perhatian pemerintah. Hampir tidak ada solusi berarti bagi petani hingga saat ini.