
Demi mendukung program swasembada pangan dan energi, Kementerian Kehutanan RI mengklaim ada potensi 20,6 juta hektar lahan hutan yang dapat digunakan. Sumber lahan tersebut adalah hutan lindung dan hutan produksi.
Wacana hutan cadangan pangan dan energi tersebut disampaikan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta (Senin, 30/12/2024). “Ini hanya men-support terhadap apa yang dikerjakan Menteri Pertanian dan Menteri ESDM, yaitu dengan konsep hutan cadangan pangan dan energi. Kami telah mengidentifikasi dengan Menteri Pertanian, ada sekitar 20 juta hektar yang dapat digunakan,” ungkap Raja Juli.
Raja Juli Antoni juga mengatakan bahwa seluruh lahan hutan cadangan pangan dan energi adalah bagian dari proyek lumbung pangan/food estate. Lokasinya tersebar di seluruh provinsi, bahkan di tingkat desa. “Ada di seluruh provinsi, jadi itu akan menjadi lumbung pangan kecil. Tidak hanya food estate yang besar, namun bahkan bisa di desa. Ini menjadi bagian dari program swasembada pangan,” kata Raja Juli. Tujuan untuk memperluas program lumbung pangan/food estate perlu dipertanyakan. Pasalnya, jutaan hektar hutan yang telah dibabat sejak tahun 1995, terbukti gagal dan malah menimbulkan kehancuran ekosistem hutan dan lahan gambut. Bahkan, hasil kajian Pantau Gambut tahun 2024 bertajuk “Swanelangsa Pangan di Lumbung Nasional” menyebutkan bahwa ribuan hektar lahan bekas food estate dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Lantas, timbul pertanyaan besar, sebenarnya untuk siapa seluruh proyek tersebut?. Dosen di Departemen Antropologi UI, Suraya Afif mengatakan bahwa ada ketidakjelasan informasi yang disampaikan oleh pemerintah terkait proyek-proyek besar yang akan dilakukan selama ini. “Masalah terbesarnya adalah pemerintah tidak pernah jelas, apakah pembangunan yang dilakukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Kita ketahui bersama proyek food estate selama ini malah diberikan seluruh aksesnya terhadap tentara dan perusahaan-perusahaan swasta, sementara rakyat malah terusir,” ungkap Suraya.
Ketimpangan dan kemiskinan harusnya bisa diturunkan melalui berbagai proyek tersebut. “Selama ini masyarakat hanya dijadikan sebagai buruh di proyek-proyek pemerintah, sehingga tidak akan pernah sejahtera. Harusnya masyarakat menjadi fokus utama dalam pembangunan. Mereka berhak mendapatkan perlindungan, akses ke lahan, dan kepastian dukungan dari pemerintah,” kata Suraya.
Kepala Tani Center IPB, Hermanu Triwidodo mengatakan bahwa kedaulatan pangan dapat dicapai tanpa program food estate. “Sebenarnya tidak perlu menambah lahan untuk food estate. Dua hal utama yang dapat dilakukan adalah penguatan diversifikasi pangan dan menangani lahan-lahan kering di Indonesia,” ungkap Hermanu.
Diversifikasi pangan menggambarkan keberagaman konsumsi jenis pangan oleh masyarakat. Artinya, tidak terbatas hanya padi untuk mendapatkan asupan karbohidrat. “Indonesia memiliki banyak sekali sumber karbohidrat, tidak terbatas hanya beras. Ada singkong, sagu, umbi, dan jagung. Itu semua tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia,” kata Hermanu.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menambahkan jika masalah pak Prabowo ini soal produksi sawit, maka jawabannya bukan dengan perluasan kebun sawit baru atau ekstensifikasi lahan. “Masalah selama ini kan produktivitas per lahan sawit yang rendah. Sawit di Indonesia secara rata rata hanya hasilkan 12,8 ton per hektar untuk tandan buah segar. Sementara di Malaysia bisa capai 19 ton per hektar tandan buah segar. Selisihnya kan jauh sekali. Berarti solusinya intensifikasi lahan, masalah teknologi pertanian nya, pembibitan, sampai pupuk,” kata Bhima.
Instruksi presiden langsung perluasan kebun sawit dengan pembukaan lahan baru demi ambisi bioenergi sangat berisiko. “Justru sawit Indonesia akan dijadikan pembenaran dari negara importir untuk tambah berbagai hambatan dagang baik tarif maupun non-tarif. Ini seolah pemerintah dukung perluasan kebun sawit meski ada risiko deforestasi. Saya kira itu blunder sekali. Apalagi era perang dagang, sawit Indonesia rentan jadi sasaran proteksionisme negara maju. Justru dengan adanya EUDR yang harus dipastikan itu kebun sawit nya tidak bertambah luas tapi tambah produktif,” kata Bhima.
Hasil hitungan Celios menemukan bahwa moratorium perluasan kebun sawit punya banyak manfaat. “Dampak implementasi kebijakan moratorium sawit ditambah skema replanting dinilai mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada tahun 2045 yakni output ekonomi bertambah Rp 28,9 triliun, PDB Rp 28,2 triliun, pendapatan masyarakat naik Rp 28 triliun, surplus usaha Rp 16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp 165 miliar, ekspor Rp 782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp 13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761 ribu orang. Hasilnya jauh lebih positif dibanding skenario pembukaan kawasan hutan besar-besaran,” tutup Bhima.
Persoalan lahan untuk hutan cadangan pangan dan energi seluas 20 juta hektar berisiko memperparah kerusakan lingkungan dan ketimpangan di tengah masyarakat. Koordinator Program LaporIklim, Yoesep Budianto mengatakan bahwa pengelolaan lahan yang buruk malah mendatangkan petaka ekologis bagi masyarakat. “Saat ini banyak sekali banjir bandang, kekeringan, atau tanah longsor yang terjadi di pusat proyek dan area sekitarnya. Akhirnya, pihak yang paling menderita adalah masyarakat,” kata Yoesep.
Tentang LaporIklim
Merupakan organisasi non pemerintah yang lahir dari keprihatinan terhadap ketidakadilan dan pengabaian hak asasi manusia dalam aspek perubahan iklim. Tiga agenda utamanya adalah menguatkan nexus antar pihak dalam kaitannya kebijakan publik dan pengelolaan lingkungan, mendorong partisipasi masyarakat melalui sistem pelaporan, serta melakukan edukasi kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Narahubung: Yoesep Budianto (085648973423)
Website: https://laporiklim.wargaberdaya.org/