LaporIklim

Akademisi: Selaraskan Kebijakan dan Perbaikan Tata Kelola Demi Melindungi Lingkungan dan HAM 

Diskusi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Diskusi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Jakarta 4 Februari 2025 Dalam 100 hari awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan beberapa kebijakan strategis, seperti makan bergizi gratis, lumbung pangan (food estate), hingga swasembada energi dengan ambisi membuka 20 juta hektar hutan. Namun para akademisi menilai banyak hal kontradiktif antara kebijakan dan implementasi pemerintah, termasuk narasi bertentangan dari para aktor di balik kebijakan yang diambil. Pemerintahan Presiden Prabowo perlu menyelaraskan kebijakan dan memperbaiki tata kelola, terutama sektor pertambangan, untuk melindungi lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). 

Hal ini menjadi kesimpulan diskusi platform Lapor Iklim bersama peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute Made Supriatma, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur, alumni akademisi Universitas IPB Satyawan Sunito, Akademisi Universitas Indonesia Suraya Afiff, dan Analis Senior Institute for Essential Services Reform Julius Christian di Jakarta, 4 Februari 2025.

Suraya A. Affif, pakar antropologi dan politik ekologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa selalu ada ambiguitas antara kebijakan dan implementasi program ketahanan pangan dari pemerintah. “Selama ini pemerintah hanya memprioritaskan cara pemenuhannya yang melalui impor. Sementara itu tidak ada kewajiban mengutamakan produksi pangan dalam negeri. Masih jadi pertanyaan apakah food estate adalah jawaban yang tepat untuk persoalan kedaulatan pangan,” ungkap Suraya.

Ia mengungkap ada tiga kontradiksi dalam seluruh agenda ketahanan pangan oleh pemerintah. Pertama, tidak belajar dari persoalan masa lalu, food estate malah menjadi prioritas. Kedua, pemerintah mengatakan berbasis kearifan lokal, namun kenyataannya dikelola oleh militer dan korporasi swasta. Ketiga, praktik militerisasi dan gastro kolonialisme dengan mengutamakan beras yang menggantikan pangan lokal.

Menurut Satyawan Sunito, pakar ekologi manusia dan masyarakat adat IPB University, pemerintahan 100 hari Prabowo-Gibran menjadi cerminan sejarah panjang buruknya pengelolaan lahan di Indonesia. Ia mengatakan kita perlu menelaah sejarah panjang penelanjangan rakyat dari sumber daya alam dan kehutanan. “Yang menarik, perubahan tata kelola sumber daya secara nasional di nusantara tidak banyak berubah 150 tahun terakhir. Penguasaan atas sumber daya sudah didominasi oleh negara dan korporasi besar,” kata Satyawan.

Satyawan Sunito menambahkan bahwa saat ini keberlanjutan eksploitasi kawasan hutan sedang masif terjadi. “Setelah kawasan hutan menjadi tempat ekspansi modal besar, sekarang makin meluas ke kawasan non-hutan yang dijadikan sasaran ekspansi. Ada perampasan tanah penduduk oleh negara.” ungkap Satyawan.

Hal senada disampaikan Julius Christian, peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR), bahwa transisi energi selama 100 hari ini belum memiliki kejelasan. “Agenda transisi energi, menurunkan emisi, dan meminimalisir penggunaan batubara masih sebatas pidato. Ada beberapa menteri mengeluarkan narasi yang bertentangan dengan janji-janji kampanye terkait transisi energi dan perubahan iklim,” ungkap Julius.

Ia menambahkan bahwa salah satu aspek penting yang diabaikan pemerintah dalam konteks transisi energi adalah dampak kesehatan terhadap masyarakat. “Sebenarnya ada agenda penggantian bahan bakar lebih ramah lingkungan, namun berjalan lambat. Dan terkait PLTU serta teknologi carbon capture and storage (CCS), semuanya jelas mengabaikan kesehatan publik,” kata Julius.

Diskusi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Urgensi Tata Kelola Menolak Tambang di Pulau Kecil

Ir. La Ode M. Aslan dari Forum Akademisi Timur Melawan Tambang di Pulau-Pulau Kecil turut memberi tanggapan terkait urgensi tata-kelola pertambangan di pulau Kecil. “Kami melihat banyak kasus kerusakan lingkungan karena pengelolaan tambang yang dibiarkan pemerintah. Menambang di pulau kecil sesungguhnya dilarang dan gugatan hukum sudah menang, tapi pengelola tetap beroperasi tanpa ada tindakan,” ungkap La Ode.

Catatan lain dalam 100 hari pertama Prabowo-Gibran adalah pendekatan militerisme yang makin diperkuat, khususnya untuk proyek-proyek besar pemerintah. Made Supriatma, peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute mengatakan pendekatan tekno militeristik yang dilakukan saat ini mirip dengan masa Orde Baru. Menurut dia, pendekatan ini dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan terhadap para politikus dan birokrat sipil.

Muhammad Isnur, pakar HAM dan kebebasan sipil YLBHI mengatakan bahwa konflik antara militer dan masyarakat sipil sudah kerap terjadi di lapangan, termasuk dalam proyek strategis nasional (PSN). Dari 36 PSN yang dipantau dan ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, daerah Indonesia Timur-lah yang paling banyak menyumbang konflik, termasuk food estate di Merauke.

Said Abdullah dari Koalisi Rakyat Atas Kedaulatan Pangan menambahkan, di era rezim saat ini ada tiga kekuatan, yaitu bisnis, pemerintah, dan militer, bersatu dalam konteks agraria dan mengancam kehidupan masyarakat pedesaan-skala kecil. 


Tentang LaporIklim

Organisasi non pemerintah yang lahir dari keprihatinan terhadap ketidakadilan dan pengabaian hak asasi manusia dalam aspek perubahan iklim. Tiga agenda utama Lapor Iklim yaitu penguatan nexus antar pihak dalam kaitan antara kebijakan publik dan pengelolaan lingkungan, mendorong partisipasi masyarakat melalui sistem pelaporan, serta melakukan edukasi kepada masyarakat Indonesia.

Narahubung : Yoesep Budianto (085648973423)

Website : https://laporiklim.wargaberdaya.org/ 

Instagram : https://www.instagram.com/laporiklim/

Share the Post:

Related Posts