
Langit masih gelap, terselimuti awan mendung. Suralaya, yang biasanya cerah dan tenang di pagi hari, kini terasa lebih mencekam. Hujan semalam belum sepenuhnya reda, dan angin laut menghembus dengan kencang. Di sebuah rumah kecil, Edi Suriana (46) mulai bersiap untuk mengais rejeki di pantai.
Rumah Edi terletak di Kampung Kotak Malang, Kelurahan Suralaya, Cilegon, hanya sekitar dua kilometer dari kompleks PLTU Suralaya, tempat yang sudah lama menjadi bagian dari hidupnya.
Hari itu, ada sedikit perbedaan dalam rutinitas Edi. Jika biasanya ia berangkat pukul 4.30 pagi, hari ini ia baru melangkah keluar rumah pada pukul 5.30 pagi. Hujan yang mengguyur semalam memaksa dirinya untuk menunggu, memberi kesempatan agar cuaca sedikit lebih bersahabat. Namun, Edi tidak pernah membiarkan halangan sekecil apapun menghentikan langkahnya. Ini adalah hidupnya—hidup seorang penjala ikan di pesisir Suralaya.

Setelah memastikan semuanya siap, Edi menyalakan motornya. Mesin motor yang menggerung itu jadi satu-satunya suara menyusuri jalanan sepi, diterpa angin kencang. Perjalanan menuju lokasi penyimpanan motor memakan waktu sekitar 14 menit, namun itu baru langkah pertama. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak yang dipenuhi ilalang tinggi, menyeberangi sungai kecil hingga akhirnya tiba di bibir pantai.


Edi lalu mengambil ban bekas yang disimpan di antara semak ilalang lebat, yang digunakan sebagai pelampung untuk menyeberang ke pulau kecil, tempat para penjala ikan mencari nafkah. Rutinitas tersebut dia jalankan setelah memutuskan berhenti sebagai penguji kualitas dan harga batu bara di PLTU Suralaya pada 2017.
“Jadi yang membuat saya keluar itu karena memang satu tekanan (campur tangan atasan). Saya penentu kualitas dan harga batu bara yang ditentukan oleh hasil uji lab,” kata Edi kepada Deduktif, Jumat (17/1/2025).
Sepuluh tahun bekerja di PLTU, Edi mengungkapkan kekecewaannya dengan sistem yang ada, di mana kerja mereka sering dianggap bisa dibeli atau diatur oleh pemilik batu bara dan pembeli. Ia menyoroti bagaimana pembeli sering menyalahkan mereka jika hasil analisis tidak sesuai harapan, padahal mereka hanya melakukan uji lab sesuai kualitas batu bara yang ada. Hal ini yang membuat Edi berhenti dan beralih profesi menjadi penjala ikan.
Meski sudah berhenti, Edi berulang kali mengkritik kondisi sosial, ketimpangan ekonomi, dan kesehatan warga di wilayah industri energi terbesar di Pulau Jawa. Edi juga melawan narasi yang dihembuskan saat ini, jika PLTU Suralaya (unit 1-2) disuntik [MOU1] mati, maka warga lokal akan menjadi pengangguran. Menurutnya, kondisi itu tidak akan terjadi jika PT Indonesia Power (IP) selaku operator PLTU Suralaya melakukan prosedur dengan benar sejak operasi 1984.
“Tidak ada ceritanya seperti itu kalau memang IP mengelolanya benar,” ungkapnya.
Antisipasi seharusnya sudah dilakukan sejak awal, bukan baru sekarang. PT Indonesia Power (IP) seharusnya mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK) di Suralaya untuk meningkatkan keterampilan warga lokal yang ingin bekerja di PLTU. Dengan begitu, selain menghadapi polusi udara, warga juga bisa diberdayakan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, bukan hanya menjadi korban industri.
Edi juga mengungkapkan sisi gelap dari perkembangan industri kotor ini, yang membuat banyak warga kehilangan mata pencaharian. Dulu, warga bisa memilih banyak profesi, dari nelayan, petani hingga pengembala kambing dan kerbau. Namun, dengan hadirnya industri PLTU, banyak lahan untuk bertani dan bergembala kini berkurang hingga hilang.
“Lahan yang dibangun PLTU itu dulunya sawah dan kebun semua. Ada padi, ubi, kacang panjang, jagung dan timun. Sekarang lahannya sudah enggak ada,” ujarnya.

Akibatnya, banyak petani dan pengembala yang kehilangan penghidupan. Pendapatan mereka turun drastis, bahkan beberapa beralih profesi menjadi buruh kasar. Edi menilai, meskipun industri hadir, namun keberadaannya tak memberi manfaat signifikan bagi warga sekitar.
Sekarang, lanjut Edi, para petani terpaksa membeli produk pertanian karena lahan mereka sudah tidak ada. Hal ini menyebabkan ketimpangan ekonomi di masyarakat, di mana sebagian bergantung pada industri meskipun hasilnya tak sebanding dengan yang diharapkan.
“Dulu warga Suralaya suksesnya itu memang dari bertani, bukan dengan adanya industri,” ujarnya.
Selain masalah ekonomi, Edi merasakan betul dampak dari polusi udara dari PLTU batu bara. Anak bungsunya, Aqiva Nayl (2), mulai mengalami kesulitan bernapas pada malam hari sejak pertengahan tahun 2019. Setelah periksa ke rumah sakit, anaknya dinyatakan terkena tuberkulosis dan harus meminum antibiotik selama enam bulan berturut-turut. Kombinasi polusi udara dan tuberkulosis (TBC) membuat Aqiva semakin sesak napas.
“Obatnya besar-besar, gak tega lihatnya,” ucapnya.
Penelitian menunjukkan adanya kaitan antara kualitas udara yang buruk dengan meningkatnya risiko TBC. Sebuah studi dari Yi-Jun Lin, dkk (2019) mengungkapkan hubungan signifikan antara TBC dan paparan polutan udara, seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan nitrogen dioksida. Polutan tersebut meningkatkan kerentanan untuk mengembangkan TBC aktif. Polutan-polutan ini umumnya berasal dari proses pembakaran batu bara.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cilegon, kasus tuberkulosis mencapai 1.758 orang pada 2023. Jumlah tersebut meningkat dibanding tahun 2022, yaitu 1.758 orang. Kemudian angka TBC menurun pada 2024, yaitu 1.645 orang.
“Tahun 2021 meningkat terus hingga 2023. Pada 2024 menurun,” kata Siti Sholi, penanggung jawab program TBC Dinkes Kota Cilegon saat dihubungi Deduktif, Senin (24/2/2025). Ia menyebut bahwa mayoritas kasus TBC berusia pada rentang 14 hingga 60 tahun.
Pemerintah Abaikan Biaya Kesehatan
Polusi udara telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Suralaya. Setiap tarikan napas mereka, seolah membawa dampak yang tidak bisa dihindari. Bagi mereka, ini adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Suparman, 35 tahun, (bukan nama sebenarnya), salah satu pekerja kontrak kontrak di PLTU, dengan tegas mengatakan dampaknya tak terhitung.
“Dampak polusi enggak bisa langsung kelihatan,” kata Suparman saat ditemui Deduktif, Rabu (19/2/2025).
Menurutnya, setiap napas yang dihirup warga membawa dampak yang perlahan menggerogoti kesehatan mereka. Meskipun dampaknya tidak terlihat langsung, Suparman menyadari bahwa polusi yang terhirup setiap hari ini akan meninggalkan jejak yang dalam ketika mereka mencapai usia 45 atau 50 tahun. Bahkan ada yang usia muda sudah terkena dampak polusi.
“Banyak juga anak-anak kecil terdampak penyakit asma, kulit, dan sebagainya,” ucapnya.
“Contohnya anak kang Edi.”

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi Kota Cilegon Dalam Angka 2023, penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) tercatat sebagai penyakit dengan jumlah kasus tertinggi, mencapai 41.779 kasus. Disusul oleh hipertensi dengan 15.501 kasus, dispepsia sebanyak 12.160 kasus, common cold (pilek) 9.766 kasus, dan dermatitis 9.450 kasus.
ISPA juga mendominasi sebagai penyakit tertinggi di Kota Cilegon pada tahun 2021, dengan total 16.724 kasus. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit lain seperti hipertensi yang tercatat sebanyak 7.109 kasus, dermatitis 6.421 kasus, gastritis dan duodenitis 4.977 kasus, serta sindrom dispepsia 4.300 kasus.
Catatan Dinkes Kota Cilegon mayoritas masyarakat yang terkena ISPA berusia 0-5 tahun dan hampir merata di setiap kecamatan. Kota Cilegon terdiri dari 8 kecamatan dan 43 kelurahan dengan jumlah penduduk 476 ribu jiwa pada tahun 2024.
Kondisi serupa juga dapat ditemukan di Desa Waruduwur, Cirebon, yang terletak dekat PLTU 1 Cirebon. Polusi udara menyebabkan tingginya angka kasus ISPA, dengan 3.562 kasus tercatat di Puskesmas Mundu antara 2019-2022. Selain itu, angka kasus nasofaringitis akut (peradangan pada tenggorokan) juga sangat tinggi, mencapai 10.698 kasus.
Baik warga Cirebon maupun warga Suralaya merasa terperangkap dalam pola hidup yang tidak bisa mereka hindari. Mereka terpaksa menghirup udara tercemar setiap hari, tanpa ada jalan keluar yang jelas. Bahkan, ketika warga menderita karena polusi, biaya untuk berobat menjadi beban tersendiri.
“Kalau kita hirup polusi tiap hari. Mau bagaimana lagi? Kalau mau dihitung, berapa miliar kerugian negara ini” keluh Suparman.
Kisah lain datang dari Asmin (55), warga Kebon Kopi yang merasa sengsara jika memasuki bulan November hingga Januari. Pasalnya, pada bulan tersebut angin laut berhembus ke darat. Kondisi itu membuat abu batu bara bertebangan ke pemukiman warga hingga sampai ke teras rumah. Bahkan menempel di daun atau atap rumah warga.

Ia bilang, selama ini perusahaan tidak pernah memberikan kompensasi bagi warga yang terkena dampak polusi batu bara seperti memberikan pemeriksaan kesehatan gratis atau dokter keliling bagi warga. Jika sakit, warga sendiri yang keluar biaya ke klinik.
“Kalau dulu sebelum ada proyek (PLTU), enggak ada penyakit paru-paru. Sekarang enggak usah ngerokok, sakitnya paru-paru. Jangankan orang tua, anak muda aja kena,” ungkapnya kepada Deduktif, Rabu (19/2/2025).
Menurut Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), dampak polusi udara dari pembangkit listrik batu bara di Indonesia masih diabaikan pemerintah. Dalam analisis CREA, emisi dari PLTU batu bara meningkat 110% dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2022, emisi tersebut menyebabkan 10.500 kematian dan merugikan ekonomi hingga USD7,4 miliar (Rp109,9 triliun).
Jika kebijakan saat ini tetap diterapkan, pada 2030, polusi udara akan meningkat 70%, seiring dengan ekspansi kapasitas PLTU batu bara dari 45 GW menjadi 63 GW. Akibatnya, kematian terkait polusi akan meningkat menjadi 16.600 per tahun, dengan beban ekonomi kesehatan mencapai USD11,8 miliar (Rp175,2 triliun) per tahun.
Manajer Riset IESR, Raden Raditya Yudha Wiranegara, menyatakan bahwa hingga kini pemerintah belum mengkalkulasi kompensasi bagi warga yang terdampak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
“Belum ada rencana atau perhitungan spesifik mengenai hak hidup warga sekitar PLTU untuk mengembalikan kondisi mereka seperti sebelum ada PLTU,” ujarnya kepada Deduktif, Selasa (11/2/2025).
Selain dampak pada masyarakat, ia juga menyoroti nasib pekerja PLTU. Jika PLTU dipensiunkan, penting untuk memastikan pekerja tetap memiliki pekerjaan di unit lain atau menjalani pelatihan ulang (reskilling) untuk menjadi operator di sektor lain. Namun, menurutnya, belum ada langkah konkret terkait hal ini.
Kondisi tersebut berbeda dengan pemilik PLTU batubara, pemerintah berulang kali akan memberikan kompensasi bagi pengusaha yang mau mempensiunkan dini pembangkitnya. Pada November 2022, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan program pensiun dini PLTU tidak akan merugikan PLN dan pengusaha pemilik pembangkit.
Kemudian, pada Februari 2023, di sela meresmikan kantor sekretariat Tim Kerja Just Energy Transition Partnership (JETP), Arifin memastikan pensiun dini PLTU tidak akan merugikan pengusaha.
“Timeline penghapusan PLTU akan kita buat, menunya sudah ada, nanti dipilih mana-mana dulu yang paling applicable, paling implementable. Nanti jika sudah dipensiunkan akan diganti dengan pembangkit listrik dengan energi yang lebih bersih,” ujar Arifin Tasrif, Jumat (17/2/2023).
Meski Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan komitmen untuk menghentikan penggunaan energi fosil, termasuk PLTU dalam 15 tahun ke depan di KTT G20, kebijakan tersebut tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Kementerian ESDM belum memasukkan rencana pensiun dini PLTU batu bara dalam dokumen–yang akan segera diterbitkan–tersebut.
“Ditunggu saja (RUPTL),” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi kepada Deduktif, Rabu (12/2/2025).
Saat ditanya tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai target Presiden Prabowo, Eniya mengungkapkan bahwa belum ada konsep kompensasi terkait pensiun dini PLTU. “Kajian itu dulu,” tambahnya, menegaskan bahwa meskipun ada janji transisi energi yang ambisius, implementasi kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, khususnya batu bara, masih menghadapi tantangan besar.
Konflik Kepentingan dalam Kebijakan Transisi Energi
Pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang menyebutkan bahwa pensiun dini PLTU sebaiknya tidak dipaksakan karena keterbatasan anggaran, menandakan komitmen pemerintah yang setengah hati dalam mempercepat transisi energi. Lebih jauh lagi, pandangan ini turut menunjukkan adanya keberpihakan pemerintah terhadap pemilik PLTU.
Zakki Amali, Manajer Riset Trend Asia, menyatakan bahwa kebijakan energi Indonesia seringkali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi pejabat dan bias-bias yang muncul. “Politik balas budi. Siapa yang berjasa, dia yang akan mendapatkan balasan (keuntungannya),” jelas Zakki saat dihubungi Deduktif, Kamis (6/2/2025)
Menurut Zakki, pengusaha besar yang memberikan dukungan politik kepada pemerintah, baik melalui kampanye maupun sumbangan, seringkali mendapatkan keuntungan signifikan dari kebijakan yang diambil. Keuntungan ini, kata Zakki, memperburuk praktik oligarki dalam sektor energi, khususnya di sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri batubara.
Meskipun perjanjian intesional seperti Paris Agreement mendorong peralihan ke energi bersih, pengusaha yang bergantung pada batubara—termasuk pemilik PLTU—kebanyakan menentang upaya transisi tersebut. Selama pandemi, misalnya, industri batu bara menikmati lonjakan keuntungan yang luar biasa, sementara tidak ada pajak progresif yang dikenakan untuk mengimbangi keuntungan tersebut.
Zakki juga menyoroti bahwa sektor batu bara di Indonesia masih didominasi oleh konglomerat besar yang mengendalikan seluruh rantai pasokan—dari pertambangan hingga pembangkit listrik. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Trend Asia berjudul “Mendanai untuk Menunda” mengidentifikasi lima perusahaan utama yang menguasai bisnis hulu-hilir energi kotor: Adaro, Sinar Mas, TBS Energi Utama, Indika Energy, dan Barito Pacific.
Barito Pacific, yang dimiliki oleh pengusaha Prajogo Pangestu, telah memperluas portofolio bisnis batu bara dengan membangun PLTU Suralaya 9 dan 10 (kapasitas 2×1.000 MW) melalui kerja sama dengan PT PLN. Pada akhir 2023, Barito juga mengakuisisi perusahaan tambang batu bara PT Multi Tambangjaya Utama senilai USD 218 juta. Pangestu, yang memiliki kekayaan lebih dari USD 60 miliar, merupakan salah satu konglomerat yang mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Pemerintahan saat ini didukung oleh banyak pengusaha. Sekitar 70 hingga 80 persen ekonomi Indonesia mendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Ini menjadi pintu masuk untuk melihat sejauh mana relasi antara pemerintah dan pengusaha dalam kebijakan energi,” kata Zakki.
Hubungan antara pengusaha besar dan pemerintah memungkinkan mereka untuk mengatur harga jual batu bara dan menikmati keuntungan besar dari PLN yang membeli batu bara dengan harga subsidi. Keuntungan besar yang diperoleh pengusaha ini memperlambat transisi menuju energi bersih, karena mereka enggan melepaskan keuntungan yang didapat dari energi fosil. Sementara, energi terbarukan tak mendapatkan subsidi negara.
Ke depan, pemerintah harus berani memprioritaskan kesejahteraan masyarakat yang terdampak industri energi, bukan hanya kepentingan pengusaha. Tanpa kebijakan yang lebih berpihak, transisi menuju energi bersih akan terus terhambat, meninggalkan beban berat bagi warga yang sudah lama menanggung dampaknya.
***
Artikel ini merupakan hasil dari program fellowship jurnalis yang didukung oleh Lapor Iklim dan Yayasan Pikul.
Reporter: Reja Hidayat
Editor: Aditya Widya Putri
Code: Abil☆
Illustrator: William Handoko
Rilis di https://deduktif.id/rencana-transisi-energi-singkirkan-hak-hidup-warga-suralayahttps://deduktif.id/rencana-transisi-energi-singkirkan-hak-hidup-warga-suralaya