LaporIklim

Pemiskinan Masyarakat Adat, Dampak Proyek Cetak Sawah

Yuliana (Dosen Sosiologi, FISIP Universitas Palangka Raya)

Rencana pemerintah Indonesia melakukan pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi merupakan masalah serius. Kalimantan Tengah menjadi salah satu provinsi yang menyambut baik rencana tersebut. Sudah dilakukan identifikasi lahan sebanyak 400 ribu hektar untuk cetak sawah, dan diharapkan terus naik hingga 1,2 juta hektar. Namun, dikhawatirkan apakah rencana ini akan mampu menjawab pemenuhan Hak Atas Pangan dan Gizi di Kalimantan Tengah? 

Bicara hak atas pangan, merujuk pada pengakuan dalam Konvesi Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB 1966), hak atas pangan sebagai hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak bersama dengan sandang dan perumahan mendorong negara mengambil langkah-langkah untuk menjamin perwujudan hak-hak tersebut (FIAN Indonesia, 2024). 

Salah satu langkah kongkrit yang diupayakan negara untuk memenuhi hak atas pangan dan gizi, pemerintahan Prabowo-Gibran menetapkan program ketahanan pangan sebagai salah satu program prioritas lima tahun ke depan (2024-2029). Melalui perluasan area proyek cetak sawah sebagai langkah mencapai ketahanan pangan 2028, dan  Kalimantan Tengah menjadi salah satu daerah prioritas untuk program ini. 

Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan atau food security dalam (Cahyono, 2009) merupakan masalah kompleks yang memastikan bahwa semua orang memiliki akses ke makanan yang cukup dan bergizi, dipengaruhi oleh kebijakan global, praktik agribisnis, dan konteks sejarah. Menurut Food Agriculture Organisation / FAO (1996 & 2008) ketahanan pangan meliputi empat dimensi, ketersediaan, akses, penggunaan pangan, dan stabilitas ketiganya. Yang jadi tujuan ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan melalui produksi massal dan lewat mekanisme perdagangan. 

Perwujudan ketahanan pangan itu melalui proyek cetak sawah. Kalimantan Tengah sendiri telah menerapkan proyek ini sejak tahun 2020-2024, harapannya untuk menjawab masalah kerawanan pangan di Indonesia, mewujudkan lumbung pangan. Namun kenyataan pahit proyek cetak sawah ini pernah gagal. Sebagaimana laporan Pantau Gambut tentang “Kegagalan berulang proyek food estate – ribuan hektare sawah di Kalteng terbengkalai dan beralih jadi kebun sawit” dalam BBC News (18/10/2024) menunjukan bahwa 30 area ekstensifikasi proyek lumbung pangan di 19 desa di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, di Kalimantan Tengah pada 2020-2023, sebagian menjadi lahan terbengkalai, dan ada yang menjadi perkebunan sawit swasta.

Proyek ketahanan pangan di Kalimantan Tengah melalui cetak sawah, bahkan belum sampai menyentuh dimensi ketersediaan, sudah menjadi produk gagal. Bahkan masih jauh menyentuh aspek keadilan produksi, distribusi, dan konsumsi. 

Ini merupakan potret buruk yang menyumbang kerawanan terhadap akses kebutuhan pangan dan gizi, jauh dari kata dapat terpenuhi. Dilaporkan oleh Kompas “Lebih Separuh Penduduk Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi” (9/12/2022), terdapat 68 persen dari total populasi Indonesia atau sekitar 183,7 juta orang tidak mampu memiliki akses kebutuhan pangan bergizi. 

Kemiskinan

Sementara itu laporan Kompas tentang “Angka Kemiskinan di Kalimantan Tengah Meningkat, Didominasi Wilayah Pedesaan” (16/1/2025) bahwa kondisi kemiskinan di Kalimantan Tengah berdasarkan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) di dominasi wilayah pedesaan dengan tingkat kemiskinan sebesar 5,29 persen, dibanding perkotaan sebesar 5,22 persen.

Memang kriteria kemiskinan di pedesaan di Kalimantan Tengah tersebut belum diketahui pasti dan secara utuh dapat dijabarkan sebagai akses terhadap hak atas pangan dan gizi. Akan tetapi menjadi indikasi dan fakta menarik tentang Garis Kemiskinan Makanan (GKM), ketika terjadi di wilayah pedesaan dengan nota bene sumber daya alam berlimpah di wilayah pedesaan itu sendiri. 

Secara tekstual kemiskinan yang akan dibahas di sini tidak tunggal hanya mengacu pada definisi kemiskinan yang dipaparkan oleh BPS, akan tetapi memperlihatkan gejala kemiskinan sebagaimana pemikiran Sajogyo (Mahmud, 2019) dimana kemiskinan struktural bukan hanya akibat dari keadaan individu tetapi berakar kuat pada faktor-faktor sistemik seperti kepemilikan tanah, akses ke sumber daya, dan dinamika sosial-politik. Secara singkat pun disebutkan bahwa kemiskinan struktural adalah konsekuensi dari persoalan agraria yang kronis dalam pembangunan pertanian, hal ini ditunjukan melalui konsep garis kemiskinan dan nafkah ganda. Kemiskinan dipengaruhi oleh masalah pertanian yang sedang berlangsung. 

Jika wilayah pedesaan di Kalimantan Tengah meningkat kemiskinannya, lalu bagaimana dapat menyumbang ketahanan pangan untuk Indonesia? Dengan kata lain, apakah kondisi marginalisasi yang digambarkan dalam istilah lokal “tempun petak manana sare, tempun uyah batawah belai” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa) akan terjadi ditengah proyek cetak sawah? Kita bercita-cita ketahanan pangan untuk Indonesia, sementara di pedesaan di Kalimantan Tengah sendiri masih bicara kemiskinan yang makin meningkat. 

Kegagalan cetak sawah

Fakta kegagalan cetak sawah di Kab. Kapuas dan Kab. Pulang Pisau sebagaimana laporan Pantau Gambut tersebut diatas, tidak menghentikan laju keinginan pemerintah yang baru dan tetap menjalankan program cetak sawah lanjutan untuk agenda 2024-2029 dengan mengandalkan pemodal yaitu kontraktor lokal.  Mengutip laporan tentang “Sebaran Wilayah dan Luasan Program Cetak Sawah dan Swasembada Jagung 2025 di Kalteng” dalam Tribunnews (8//1/2025), pengembangan target lokasi baru cetak sawah menyasar lokasi pedesaan di Kalimantan Tengah dengan total luasan 102.622 hektare disediakan Pemprov. Kalteng meliputi lokasi Kab. Kapuas dengan luasan 57.731 hektare dan Kab. Pulang Pisau dengan luasan 14.498 hektare.

Cetak sawah gagal sejak 2020-2024, melahirkan konsekuensi kemiskinan struktural bagi masyarakat pedesaan, terutama pemilik lahan bekas perladangan.  Kegagalan cetak sawah menjauhkan peladang dari sumber daya alam yaitu tanah yang merupakan moda produksi mereka untuk menghasilkan pangan lokal yang sehat, murah dan bergizi. 

Kegagalan cetak sawah menjadikan peladang berada di bawah garis kemiskinan karena mereka tidak lagi berproduksi dan menjauhkan mereka dari sumber pangan. Ketika masyarakat gagal mengelola cetak sawah, maka disitulah mereka kehilangan akses mengelola tanah menjadi sumber pangan. Sumber pangan yang hilang artinya mereka tidak mampu memenuhi hak atas pangan dan gizi bagi keluarga. Tidak jarang, mereka memilih mencari nafkah ganda dengan menjadi buruh perusahaan, hanya untuk memenuhi sumber pangan (beras, sayur, air bersih, lauk pauk). Begitu pula bagi yang hanya mengandalkan pengelolaan lahan untuk pertanian namun gagal, mereka juga jatuh dalam jurang kemiskinan.  

Sebut saja, salah satu desa di Kabupaten Kapuas, yaitu Desa Mantangai Hulu menjadi lokasi cetak sawah yang dilakukan sejak tahun 2021-2023. Peladang yang awalnya dapat mengontrol, dan mengakses lahan secara mandiri menjadi produsen pangan (padi, sayur mayur) mandiri, semenjak cetak sawah hadir diharapkan menjadi jawaban atas larangan membuka lahan dengan cara membakar. Kenyataanya cetak sawah gagal. 

Lahan-lahan bekas berladang dibuka jadi cetak sawah tidak dapat ditanami padi sekalipun jenis padi bantuan hybrida, dengan bantuan kapur tanah, pupuk NPK kimia untuk penyubur. Peladang gagal menggunakanya, padi tumbuh tapi tidak menghasilkan bulir buah padi. Adanya pola menanam yang berbeda antara pola berladang dan pola cetak sawah juga menjadi kendala utama bagi peladang menyesuaikan diri. 

Mensiasati situasi agar kebutuhan pangan bergizi dapat terpenuhi, mereka melakukan pekerjaan tambahan (nafkah ganda), menjadi buruh perusahaan sawit PT KLM, petani kayu Galam, penambang emas rakyat, hingga menjadi nelayan ikan sungai. Sementara, bagi masyarakat rentan (janda, cacat fisik, lansia) yang hanya menggantungkan hidup dengan mengandalkan lahan namun tidak dapat lagi dikelola, maka Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah jawaban untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi. 

Pemiskinan budaya

Bagaimana bisa kebijakan cetak sawah yang merupakan program strategis nasional dapat menjadi gagal? Kini pemilik lahan menjadi konsumen pangan, benih-benih padi lokal menghilang seperti Kawung, Manyahi, Tambangan, Mupuntai, Garagai, dan sebagainya tidak dapat lagi dijumpai, punya lahan tapi tidak bisa ditanami untuk pangan. Tak cukup disitu, pemiskinan budaya pun terjadi dimana eksistensi perladangan yang sarat dengan nilai adat budaya turut menghilang. 

Negara gagal menghadirkan keamanan hak pangan dan gizi diwilayah pedesaan di Kalimantan Tengah, juga gagal menjaga kelestarian adat budaya peladang ketika menggantikan pola perladangan dengan pola cetak sawah. Akses terhadap kesempatan hidup lebih baik tidak mampu diwujudkan negara bagi masyarakat Kalimantan Tengah di pedesaan melalui program cetak sawah, tidak dapat mewujudkan hak pangan dan gizi yang dapat diakses semua kalangan kelas masyarakat pedesaan.  

Pemerintah perlu mengevaluasi kembali program cetak sawah dengan belajar dari kegagalan, melakukan studi atau riset mendalam tentang kesesuaian program cetak sawah dengan kultur masyarakat sasaran, serta pelibatan partisipasi aktif masyarakat dalam perumusan, perencanaan, hingga pelaksanaan program cetak sawah. 

Hal terpenting lainya adalah menuntut perubahan struktural yaitu melakukan koreksi kebijakan politik pangan yang karitatif, tambal sulam dan mengabaikan prinsip keadilan sosial ekologis. Sehingga penting perwujudan kedaulatan pangan berbasis lokalitas nusantara.  

Share the Post:

Related Posts