
Bencana hidrometeorologi di Maluku Utara meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Membuat hidup nelayan dan petani perempuan semakin sulit. Selain karena perubahan iklim, situasi itu turut diperparah oleh alih guna lahan hutan.
Jalan Lintas Halmahera di Desa Wairoro Indah, Kecamatan Weda Selatan, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara lumpuh seketika. Pengendara beroda dua dan empat tak berani melintas. Ratusan orang yang hendak menyeberang, terpaksa diangkut menggunakan perahu dan traktor.
Ringkih ujung daun padi mencuat ke permukaan air. Banjir menenggelamkan jalan, rumah dan persawahan. Air bah pada awal Juli 2024 itu menyulap daratan menjadi mirip lautan. Sebulan kemudian, musibah tersebut datang lagi. Tanaman milik petani pun gagal dipanen. Kemudian, menambah berat beban petani perempuan.
Pada awal Februari 2025 kami menemui Markamah, petani padi Desa Wairoro Indah. Sambil menenteng tas anyaman warna ungu, ibu 54 tahun itu meniti pematang sawah. Sesekali ia menunduk. Tangannya menggapai dan mencabut ilalang liar yang tumbuh. Sepeninggal suaminya sewindu lalu, dia garap sendiri lahan itu.
Markamah punya tiga petak lahan, masing-masing berukuran 75 meter persegi. Sepetak digarap sendiri, satu lagi diurus oleh kenalannya dan sisanya terbiarkan begitu saja. Berhadapan dengan persawahan itu, berdiri tanda peringatan kawasan rawan banjir yang dipasang oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Halmahera Tengah.

“Ya di sini kalau banjir, ini-ini penuh,” ujarnya, seraya menunjuk hamparan sawah, “banjir sampe di sini, kita punya bibit yang panen kemarin agak gagal.”
Demi tetap bertani, Markamah sudah mengeluarkan banyak uang. Bahkan, telah menjual habis hewan ternak untuk modal, yang berkisar Rp 10 juta. Baginya, biaya itu sebanding bila hasil panen sedang bagus-bagusnya. Namun, akan merugi jika tanaman terserang penyakit atau banjir.
Terakhir kali ketika padinya kebanjiran, Markamah hanya memanen 1 ton gabah kering. Ia merasa tekor dengan hasil begitu. Katanya, harus mengutang demi memodali pertaniannya kembali. Janda itu kini terlilit hutang hingga nyaris puluhan juta, yang dia pun tak tahu kapan bisa melunasinya.
“Modalnya ngutang di toko. Jadi kalo panen, dikasih (setor). Kalo tidak, ya nggak tahu gimana bayarnya. Harus usaha bagaimana caranya,” katanya.
Ia gelisah karena belum ada bantuan dari pemerintah. Meskipun sebelumnya sudah dijanjikan bantuan modal menanam sebesar Rp 800 ribu dan pupuk, namun hal itu tak kunjung datang.
Kegagalan hasil tani karena amukan air juga dirasakan Siti Maryam (30), petani perempuan lainnya di Desa Lembah Asri, Weda Selatan. Perempuan berdarah Madura ini pasrah melihat lahan cabai, yang digarap bersama suaminya Suwarno, tergenang air.
Dalam mengurus pertanian, suami istri ini bagi tugas. Saat lakinya berjualan cabai ataupun mengurus ternak, Siti yang membersihkan tanaman cabai dari rumput ilalang, sampai panen nanti. Ketika pemetikan itulah, ia bekerja pagi hingga sore.

Pagi sebelum memanen, ibu tiga anak ini harus memasak dulu. Kemudian mengantarkan si bungsu yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak atau TK berangkat sekolah. Sambil menghitung waktu, ia akan menjemputnya lagi saat pulang nanti.
Dalam sekali panen, petani ini bisa mendulang untung sekitar Rp 1,8 juta. Mereka bahkan bisa panen sekali dalam seminggu. Namun, semuanya hilang kala banjir menerjang. Ia mengatakan menanggung rugi bila air besar tersebut datang. Tak hanya itu, curah hujan tinggi pun menurunkan hasil panen. Berimbas juga kepada hewan ternak.
“Itu yang di belakang nggak bisa surut-surut,” jelasnya sambil menunjuk lahan cabai yang terendam air, “banjir itu gagal panen, dari padi, sayur-sayuran, semuanya mati,” lanjutnya.
Selain mengelola lahan milik sendiri, Siti juga kerap bekerja harian memetik cabai petani lain yang panen. Sebagai buruh tani harian, kerjanya itu diupahi Rp 150 ribu per lima jam, itupun disesuaikan dengan harga cabai atau kondisi alam. Karena kalau banjir, tak ada yang bisa dipanen.
Data Badan Pusat Statistik atau BPS Maluku Utara menunjukkan, dalam rentang tahun 2015 hingga 2024 produktivitas padi di Halteng terus menurun. Nilai terbaiknya terjadi pada 2015, yakni 4,73 ton per hektare. Terakhir, hanya berada di angka 3,21 ton per hektare.
Sedangkan, produktivitas buah dan sayur melonjak dalam rentang tahun 2021-2023. Terakhir di kisaran 1,52 ton per hektare. Walaupun demikian, lonjakan itu tak pernah mencapai hasil terbaiknya seperti pada 2019, yaitu 1,72 ton per hektare.
Kepala Dinas Pertanian Halmahera Tengah Yusmar Ohorella membenarkan hal itu. Katanya, banjir berpengaruh terhadap hasil pertanian. Padahal, wilayah transmigrasi Wairoro ini adalah salah satu kawasan lumbung pangan di Halteng.
“Banjir kemarin memang ada yang gagal (panen), tapi tidak semua, karena ada juga yang berhasil,” tuturnya.
Sebagai sektor yang diunggulkan, katanya, pemerintah daerah sudah berkali-kali memberikan bantuan usaha tani, meliputi alat pertanian hingga pupuk. Tak hanya untuk petani padi, tetapi juga kepada kelompok hortikultura.
Soal bantuan pertanian yang dikeluhkan petani, Yusmar bilang, “ya programnya belum jalan, 2025.”
Menurut Kepala Pelaksana BPBD Halteng Rais Abas, curah hujan pada saat itu terbilang tinggi. Dia menyatakan, luapan air yang membanjiri pemukiman dan sawah disebabkan oleh pohon-pohon yang menutup jalur sungai.
Pihaknya sudah melakukan langkah penanganan pasca bencana dengan normalisasi saluran air.
“Tong BPBD cuma biking normalisasi, terkecuali ada bantuan dari BNPB untuk bikin tanggul-tanggul yang lebih besar,” jelasnya, di ruang kantornya pada Kamis, 13 Februari 2025.
Meski begitu, dia tak mengetahui pasti jumlah kejadian banjir dan kerugian yang ditimbulkan, di Weda Selatan ini. Ketika ditanya mengenai hal tersebut, Rais bilang, harus menunggu Kepala Bidang Penanggulangan Bencana.
Kieraha.com berupaya mengonfirmasi hal itu kembali, melalui pesan singkat pada Rabu pagi, 26 Februari 2025. Namun, Rais hanya membalas dengan mengirimkan foto saat banjir.
Cerita miris petani perempuan juga dialami Pia, di Desa Maidi, Kecamatan Oba Selatan, Kota Tidore Kepulauan. Saat menginjakkan kaki di wilayah ini pada 2010 silam, Pia adalah petani buah naga. Namun, banjir telah merenggut sumber penghasilannya itu.
Perempuan kelahiran Serang, Banten 50 tahun silam ini mengatakan, terakhir kali panen buah naga sekitar 5 tahun lalu. Banjir menenggelamkan kebun buah dan sawah. Lalu meninggalkan genangan air hingga sekarang.
Saat ini, Pia bekerja membersihkan sayur kangkung milik orang lain. Dia menjadi bagian dari rantai hasil pertanian, sebelum dipasarkan. Sebagai buruh tani, waktu kerjanya hampir 12 jam dengan upah Rp 40.000-Rp 60.000 per hari.
“Dibilang cukup, ya nggak cukup. Bilang nggak cukup, tapi begitu. Ya dicukup-cukupin,” ungkapnya.
Pia mengatakan setiap hujan lebat, air selalu merembes masuk ke dalam rumah. Dengan begitu, dirinya pun tak bisa bekerja.

Terlebih lagi, dengan statusnya sebagai ibu rumah tangga, membuat situasinya tambah ruwet. Saat bekerja, dia cuma jeda sejenak ketika makan siang atau kala semua kerja sudah kelar. Pia menyatakan, dia baru bisa memasak makan malam sehabis kerja, meskipun dalam keadaan lapar.
“Kadang-kadang harus lari ke belakang (dapur), habis itu balik lagi,” lanjutnya.
BPS menyebutkan, produktivitas buah dan sayur di Kota Tikep meningkat sejak tahun 2018 sampai 2022, dengan rata-rata 1,7 ton per hektare per tahun. Namun, turun 35,32 persen pada 2023.
Fauzi Robo, Kepala Dinas Pertanian Kota Tidore Kepulauan mengiakan mengenai dampak banjir terhadap pertanian di Maidi. Dia menjelaskan, dalam memitigasi dampak kerugian pertanian, baru pada tahap melihat komoditas pertanian yang dapat bertahan di situ.
“Ini akan menjadi masukan bagi kami,” sebutnya.
Namun, katanya, berdasarkan hasil pantauan dinasnya bahwa banjir sudah mulai berkurang. Dengan begitu, ia berharap petani dapat kembali menanam.
“Jadi tong berharap dong bisa tanam, seperti sebelum-sebelumnya. Dengan kondisi begitu, tong berharap genjot terus aktivitas pertanian,” ujar Fauzi.
Bumi kian panas picu bencana hidrometeorologi
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB menyebutkan bahwa pada 2024, sebanyak 95,6 persen bencana di Maluku Utara adalah bencana hidrometeorologi.
Bencana hidrometeorologi merupakan suatu fenomena bencana alam yang terjadi di atmosfer, air, atau lautan. Seperti banjir, longsor, curah hujan ekstrem, angin kencang, puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta kualitas udara buruk.
Musibah ini menyebabkan hilang nyawa, cedera atau dampak kesehatan lainnya, kerusakan harta benda, hilang mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan.
Sementara, antara tahun 2014-2024 tren kejadian bencana ini di Malut terus meningkat. Puncaknya pada 2022. Sebanyak 43 kejadian bencana, yang meliputi 76,7 persen banjir, 18,6 persen cuaca ekstrim dan 4,7 persen tanah longsor. Malapetaka itu membuat 19.159 jiwa menderita, termasuk di dalamnya empat orang terluka, dan satu meninggal dunia. Serta, merusak 183 rumah, fasilitas umum dan pendidikan.
Zaky Alin Nuary, Ketua Tim Kerja Analisa, Data dan Informasi Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika atau BMKG Maluku Utara menjelaskan, proses atmosfer dari peningkatan suhu mengawali kondisi bencana hidrometeorologi.
Seperti yang pernah diamatinya di Halmahera Tengah. Katanya, dalam kurun tahun 1983-2023 kondisi permukaan bumi di situ memanas, antara 1,5 sampai 2 derajat celcius.
Hal itu, berdasarkan indeks vegetasi dari satelit, yang menggambarkan kawasan tutupan pohon. Zaky mengemukakan, indeks tersebut menyusut dari 80 persen pada 2018 menjadi 20 persen pada 2022. Penyusutan lahan hijau ini akan meningkatkan emisi gas karbon dioksida, yang membuat bumi semakin panas. Ditambah lagi dengan polusi dari aktivitas pertambangan.
Suhu yang memanas bakal memengaruhi proses penguapan, dimana jumlah uap air akan semakin besar. Dengan begitu, katanya, volume awan potensial hujan dari proses tersebut pun ikut membesar.
“Kalau kita bisa hubungkan, ketika suhunya semakin panas, otomatis jumlah uap air akan semakin besar, dan jumlah potensi awannya akan semakin besar. Sehingga di situ juga, akan berimbas kepada jumlah hujan, dan selanjutnya berpotensi terjadi hujan ekstrim yang dapat berdampak bencana,” jelas Zaky.
Ia melanjutkan, dalam 10 tahun terakhir teramati bahwa puncak musim hujan di Malut terjadi pada bulan Desember dan Mei, dengan rata-rata curah hujan bulanannya di atas 300 milimeter atau berkategori tinggi.
Hasil pengamatan Zaky itu sekaligus mengonfirmasi mengenai kejadian bencana hidrometeorologi di Halteng, dan wilayah lainnya di Malut. Ia mengungkapkan, kalau bencana sering terjadi pada Mei, Juni hingga Juli, karena saat itu merupakan puncak musim hujan yang kedua.
“Itulah kenapa di bulan-bulan itu sering terjadi bencana, entah itu banjir bandang, banjir, banjir longsor, dan gelombang tinggi,” sebutnya.
Peningkatan suhu ini juga berpengaruh terhadap pergeseran pola Siklon Tropis yang berdampak hingga ke wilayah Maluku Utara. Katanya, jenis siklon yang terbentuk di Samudra Pasifik bagian barat laut atau dikenal dengan sebutan, topan, itu sebelumnya hanya terjadi sekitar bulan Juni, Juli dan Agustus.
“Namun siklon yang berada di dekat wilayah Maluku Utara sekarang sudah bergeser waktunya. Sekarang bisa sampai ke November. Bahkan kemarin, awal Desember juga masih ada,” ungkapnya.
Topan ini dapat menghasilkan angin kencang, hujan deras dan gelombang tinggi, yang berdampak ke wilayah Maluku Utara.
Zaky menambahkan, dengan semakin banyak bencana hidrometeorologi karena proses atmosfer yang demikian, akan berdampak terhadap kelangsungan mata pencaharian petani dan nelayan. *
==========
Liputan ini didukung Laporiklim dan Yayasan PIKUL.