LaporIklim

Nestapa Nelayan dan Petani Perempuan Halmahera Dihimpit Bencana Iklim (Bagian II)

Yunus Kasiaha (topi hitam) bersama nelayan lainnya melepaskan ikan dari jaring/Apriyanto Latukau/kieraha.com

Kemalangan petani hanya bagian kecil dari persoalan iklim yang berdampak buruk bagi kelompok perempuan. Pasalnya, BPS mencatat bahwa pada 2023 sekitar 62.915 jiwa atau 21 persen perempuan menjadi tenaga produktif di sektor pertanian, perhutanan, dan perikanan.

Andil perempuan di sektor perikanan sangat penting. Mereka memegang peran pada fase setelah penangkapan ikan. Hal ini diungkapkan oleh Rizalatul Islamiyah dalam risetnya berjudul Perempuan Dimensional: Tentang Ekonomi-Politik Perempuan Pesisir Muncar.

Melalui artikel yang terhimpun di dalam kumpulan hasil riset untuk memperingati Konferensi Internasional tentang Feminisme pada 2016 silam, Rizalatul menjelaskan bahwa sebelum sampai ke meja makan, peran lanjutan akan dipegang sepenuhnya oleh perempuan, setelah ikan didaratkan.

Peneliti memaparkan peran aktif perempuan di pesisir Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, sebagai pengatur proses niaga ikan setelah ditangkap para nelayan, yang dominannya adalah laki-laki. Belum lagi, sepulang dari menjual ikan di pasar, ibu-ibu ini harus melanjutkan kerja domestik dengan mengurus rumah tangga.

“Dalam praktek yang berpijak pada corak tradisional, menjadikan perempuan pesisir yang secara kultural beroperasi di darat menjadi penerus dari gerak kerja kaum pria,” tulisnya, dalam artikel yang diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan ini.

Perahu nelayan tertambat di desa sekitar wilayah pertambangan di Lelilef Woibulen, Halmahera Tengah/Apriyanto Latukau/kieraha.com

Hal itu juga kami temukan di Maluku Utara, seperti yang dilakoni oleh Nurlia, di Desa Tolonuo, Kecamatan Tobelo Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Dia memasarkan ikan pancingan suaminya, Harianto Ode Ali, di pasar sekitar Tobelo.

Sebagai nelayan tradisional, Harianto memancing ikan di perairan laut Pulau Tolonuo dan Halmahera, bahkan bisa sampai ke Dama, Kecamatan Loloda Kepulauan. Namun, kata Harianto, dia terpaksa mengurungkan niat melaut jika cuaca ekstrim. 

Kala kondisi laut tak bersahabat, Harianto pulang dengan tangan kosong. Hasil itu mengganggu proses selanjutnya dari rantai produksi perikanan. Sederhananya, istrinya tak akan berjualan.

Saat punya tangkapan, Nurlia akan menjualnya di pasar dari pagi hingga menjelang maghrib. Untuk menuju ke tempat jualan, dia harus menyeberangi laut dengan jarak tempuh sekitar 15 menit menggunakan perahu ketinting. Karena Tolonuo adalah pulau kecil, yang terpisah dengan Halmahera. 

Kalau ikan belum habis terjual hingga sore, Nurlia bersama suaminya harus mengemas ikan-ikan itu ke dalam box penampung dengan es batu, dan kembali lagi ke Tolonuo.

Kalu tara laku, harus di-pak (kemas) lagi dengan es. Besok pagi baru jual lagi di pasar,” ujarnya, pertengahan Februari 2025.

Naik turunnya hasil tangkapan dan kondisi ikan yang mudah busuk adalah tantangan yang dihadapi para perempuan nelayan. Sebagaimana juga telah disinggung dalam risetnya Rizalatul.

Namun, Nurlia tak sendiri. Kisahnya mirip dengan Dince Pulu, perempuan nelayan Desa Kusu, Kecamatan Oba Utara, Tidore Kepulauan. Ibu 50 tahun ini, mesti memastikan ikan yang tak habis terjual itu tetap dalam kondisi segar, ketika hendak dijual kembali.

Ia mengaku, rantai dingin penyimpanan ikan untuk hari berikutnya itu, membuatnya harus mengeluarkan biaya tambahan.

Dince tak berjualan di pasar. Dia berkeliling memasarkan ikan dari satu desa ke desa lainnya di kecamatan setempat, dengan jalan kaki. Dalam sehari, ia bisa menempuh jarak puluhan kilometer.

Dince berangkat jualan pada pagi hari dan pulang hingga menjelang malam. Katanya, suhu panas dan hujan terkadang menghambatnya di jalan. Karena membuatnya terpaksa menepi. Hambatan tersebut bikin ikannya tak terjual habis.

Kalo ujang harus ba sombar (menepi) dulu. Sehingga kadang-kadang pulang ke rumah ikannya masih ada, harus disimpan pake es batu,” jelasnya.

Apabila kondisi mendesak, ibu empat anak ini, nekat menerobos hujan atau sengatan matahari terik. Hal itu dijalani Dince demi menopang ekonomi keluarga, untuk membiayai pendidikan dua anak gadisnya di jenjang perguruan tinggi. 

Walau sudah puluhan tahun bergelut di dalam dunia perikanan, ia mengaku, belum sekalipun menerima bantuan pemerintah.

Di luar lingkaran kebijakan

Pemerintah telah menetapkan syarat bagi nelayan yang ingin mendapatkan bantuan, harus memiliki kartu usaha kelautan dan perikanan atau KUSUKA. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan atau DKP Kota Tidore Kepulauan Sofyan A Rahman.

Ia mengungkapkan, distribusi bantuan yang diberikan itu berdasarkan banyak nelayan pemilik KUSUKA yang terdata di DKP. Meskipun pihaknya selalu melakukan pendataan, namun jumlahnya masih juga simpang siur. 

Katanya, data terkini DKP Tikep kurang lebih 90 nelayan sudah mengantongi KUSUKA berbentuk kartu ATM yang dikeluarkan oleh bank, dan 900 nelayan pemilik kartu terbuat dari kertas jilid yang diberikan oleh DKP. Jumlah itu belum mencapai setengah dari total pemilik kartu nelayan atau KTN sebelumnya, yakni sekitar 3000-an orang.

Sofyan mengatakan, syarat utama untuk mengurus kartu KUSUKA adalah keterangan dari Kepala Desa, dan Kartu Tanda Penduduk atau KTP dengan status pekerjaan sebagai nelayan.

Hal Itulah yang membuat Dince sulit mengakses bantuan pemerintah, karena KTP-nya berstatus ibu rumah tangga atau IRT. Dia berharap, dukungan pemerintah untuk memudahkannya menjual ikan.

Hal ini mendapat tanggapan dari Koordinator Fajaru Maluku Utara Astuti N Kilwouw. Menurut dia, pengkategorian kerja dengan menjadikan status KTP sebagai rujukan adalah bias gender. 

Bagi penggerak komunitas yang berfokus pada kajian perempuan dan lingkungan ini, meskipun status KTP ibu-ibu nelayan ataupun petani ini adalah IRT, namun mereka berperan penting dalam setiap rantai produksi pangan.

“Peran itulah yang harus dilihat oleh pemerintah,” ucapnya.

Lain lagi dengan Yunus Kasiaha, nelayan Desa Kusu, mengaku belum mengantongi kartu nelayan dalam bentuk apapun. Meski begitu, dia pernah mendapatkan bantuan berupa uang Rp 3 juta dari pemerintah.

Ketika ditemui kieraha.com di pesisir pantai kecamatan setempat pada suatu sore pertengahan Februari 2025, lelaki yang akrab disapa Bei ini buru-buru menarik perahunya ke pinggir pantai. 

Setelah perahu didaratkan, di bawah hujan gerimis sore itu, dia melepaskan ikan yang tersangkut dalam jaringnya. Beberapa jenis ikan pelagis kecil langsung ditampung dalam ember mateks 50 kilogram. Tangkapan pertama itu tak sampai setengah ember.

“Tunggu ikan nae (mendekat), baru kalao (ke laut menjaring) lagi,” tutur Bei.

Berbekal perahu tanpa mesin dan jala, dia menyisir pesisir pantai, menjaring beberapa jenis ikan makarel. Keterbatasan alat tangkap itu, membuat Bei tak bisa memancing lebih jauh.

Kondisi cuaca juga sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Katanya, hujan deras akan menyebabkan banjir yang meluber ke perairan dekat pesisir, bikin air laut jadi keruh. Itu membuat ikan-ikan tidak akan mendekat.

Kalo banjir itu, ikan tara muncul (mendekat),” ujarnya.

Sudah puluhan tahun menjadi nelayan sambilan, Bei baru sekali mendapat bantuan uang. Itu dipakainya membeli jaring. Sementara untuk perawatan perahu, dia upayakan sendiri. Ayah 51 tahun ini mesti pandai membuat hitungan, karena selain membuka ongkos perawatan perahu, dia juga membiayai kuliah putrinya.

Sementara, kebijakan di sektor pertanian pun hampir mirip peliknya. Setelah dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2024 lalu, Prabowo Subianto menggenjot program swasembada pangan. Pemerintah Daerah pun ikut arus dalam narasi ini.

Pemda ditugaskan mengidentifikasi kawasan persawahan di daerahnya masing-masing, yang nantinya menjadi sasaran program tersebut. Kebijakan itu mendapat tanggapan dari kalangan petani hortikultura.

Suwarno, yang juga Ketua Kelompok Tani Horti Mandiri kecewa karena jenis tanaman sayur dan buah belum menjadi bagian penting dalam kebijakan tersebut. Setelah berulang kali sayurannya disapu banjir, dia sendirilah yang memitigasi dampak bencana itu.

Rumah dan tanaman buah naga yang terendam air karena banjir, di wilayah SP 2 Maidi, Kecamatan Oba Selatan, Kota Tidore Kepulauan/Apriyanto Latukau/kieraha.com

Setiap tanaman yang mati kena banjir, dia sulam kembali. Hal ini Suwarno lakukan saat terjadi banjir. Tak tahan setelah tiga kali kebanjiran, antara bulan Juli hingga Agustus 2024 kemarin, dia memutuskan membuka lahan cabai baru di tempat yang lebih tinggi. Sudah hampir seminggu, ia mengarit rumput untuk membersihkan lahan itu. Namun, belum juga rampung.

Tara mampo ngarit sendiri,” ujarnya, disambung dengan tawa.

Setelah dua tahun berdiri, kata Suwarno, kelompok tani yang dikepalainya itu mendapat dua unit mesin rotary pencacah tanah, dari pemerintah. Mesin ini digunakan oleh 25 orang anggota dan pengurus kelompok tani ini. Dia juga akan memakainya setelah lahan baru itu habis dibersihkan.

Walaupun demikian, dia tetap khawatir jika banjir terjadi lagi. Suwarno berharap, agar pemerintah bisa memperbaiki saluran air di sekitar lahan milik petani.

Kepala Dinas Pertanian Halmahera Tengah Yusmar Ohorella, mengatakan kalau penanganan terhadap bencana banjir adalah tugas instansinya, maka akan sudah dia lakukan.

Dia berharap, dinas teknis yang bertugas memperbaiki saluran air supaya memberikan perhatian atas masalah tersebut.

“Itu teknisnya bukan di torang (Dinas Pertanian),” katanya.

Perlu kebijakan berperspektif gender

Astuti melanjutkan, dampak krisis iklim terhadap petani dan nelayan perempuan di Maluku Utara sudah begitu nyata. Hal ini memberikan beban ganda bagi mereka. 

Di satu sisi, perempuan harus memastikan sirkulasi ekonomi rumah tangga tetap jalan, sementara di sisi lainnya mereka juga berurusan dengan pekerjaan domestik, seperti mengurus keluarga. Dalam kondisi demikian, mereka pun harus terpapar oleh bencana-bencana iklim.

Namun, katanya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seolah-olah belum menggunakan pendekatan gender.

Ia menjelaskan, ketika bencana iklim tiba, bukan hanya akan berpengaruh terhadap pekerjaan kelompok perempuan. Tapi juga akan berdampak bagi seksualitas dan kesehatan reproduksi mereka.

Dia menegaskan bahwa dalam menjalankan proyek untuk mengatasi krisis iklim, pemerintah pusat ataupun daerah, harus menggunakan pendekatan pengarusutamaan peran berdasarkan gender.

Selain analisis gender, katanya, penting juga untuk memperhitungkan relasi kuasa. Seperti, pilihan perempuan untuk menjadi nelayan maupun petani, mungkin karena desakan faktor ekonomi atau budaya.

“Relasi kuasa juga, karena kebijakan di ranah domestik juga mempengaruhi pilihan-pilihan perempuan,” sambungnya.

Apalagi, lanjutnya, sektor perikanan dan pertanian merupakan salah satu penyerap tenaga kerja terbanyak perempuan di Maluku Utara, bila dibandingkan dengan sektor lainnya, khususnya pertambangan.

Astuti melihat bahwa pertambangan adalah industri ekstraktif yang merusak ruang hidup nelayan dan petani perempuan. Karena ketika tanah sudah rusak dan laut telah tercemar, mereka tak tahu lagi mesti kemana.

Ia bilang, industri ekstraktif ini juga bisa memicu krisis iklim. Karena ketika tingkat emisi gas rumah kaca atau GRK tidak terkontrol, maka akan semakin mempercepat pemanasan global.

“Jadi pemerintah harus melihat, di sektor-sektor apa perempuan banyak bekerja, itu yang harus diutamakan, bukan sebaliknya,” tambahnya. *

Share the Post:

Related Posts