Saat ini, muncul kekhawatiran masyarakat akan meningkatnya deforestasi terkait rencana pemerintah untuk mengubah 20,6 juta hektare kawasan hutan menjadi lahan pertanian sawit demi mempercepat swasembada pangan di 2027. Selain dampak ekologis, deforestasi juga memperburuk prekaritas (kerentanan) pekerja sawit dan menimbulkan biaya kemanusiaan bagi perempuan. Besarnya dampak deforestasi ini ibarat malapetaka (catastrophe), yang bisa mendatangkan bencana bagi kemanusiaan, khususnya bagi perempuan.
Menurut Forest Watch Indonesia, deforestasi atau hilangnya hutan di Indonesia sejak 2000-2017 tercatat sekitar 23 juta hektare. Di 2023 Indonesia adalah negara dengan laju deforestasi tertinggi, dan terus meningkat di 2024 hingga 23 kali luasan Pulau Madura, maka di 2025, laju deforestasi untuk kepentingan food estate dan biodiesel akan naik 300 persen. Dalam perspektif feminis ekologis, masyarakat adat dan perempuan menjadi pihak yang paling terdampak oleh perubahan iklim, namun kata kunci “perempuan” seringkali dilupakan dalam diskusi tentang hutan di Indonesia.
Kontradiksi Kebijakan
Tahun 2021, pemerintah telah menetapkan kebijakan FOLU Net Sink 2030 sebagai target mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan lahan sebagai komitmen untuk mengurangi GRK dan mengatasi perubahan iklim. Lewat kebijakan itu serapan karbon sektor kehutanan dan lahan ditargetkan lebih tinggi daripada emisi pada tahun 2030. FOLU Net Sink 2030 mengamanatkan sektor kehutanan sebagai penyimpan karbon utama, dengan program utama: menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2024/07/06/e9fe26b1-79fa-4eee-a914-ce3970c8da26_gif.gif)
Kontradiktif dengan kebijakan tersebut, pemerintah justru akan mengorbankan komitmen anti-deforestasi yang dibuat pada COP26. Kebijakan ini juga kontradiktif dengan EUDDR (EU Due Diligence Regulation) yang mewajibkan seluruh pemerintah dan produsen memastikan komoditas dan produk yang beredar di Uni Eropa legal dan tidak terkait dengan deforestasi. Selain kontradiktif, deforestasi juga meningkatkan resiko kerentanan pekerjaan prekariat di sektor sawit, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan.
Kerentanan Pekerjaan Perempuan di Sawit
Kertas Kebijakan Komnas HAM 2021 mengungkapkan bahwa UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya belum menginklusi pekerja prekariat. Ini mengakibatkan pelanggengan kekosongan payung hukum bagi perlindungan hak-hak asasi para pekerja prekariat. Empat dimensi kerentanan yang membuat pekerja berada pada kondisi rentan/genting (precarious) yaitu: tidak terjaminnya keberlanjutan hubungan kerja, ketidaklayakan upah, kemunduran hubungan pekerja-pemberi kerja dan kerentanan pekerja, pelemahan pelindungan sosial bagi pekerja.
Riset Sawit Watch menemukan banyaknya perempuan buruh di perkebunan sawit, yang mayoritas bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL), tanpa kontrak kerja yang jelas dan tidak berhubungan langsung dengan perusahaan. Data Sawit Watch menunjukkan, jumlah BHL di 2016 lebih dari 10 juta, dan 70 persennya adalah perempuan. Data Koalisi Buruh Sawit 2021 menyebutkan, dari 18 juta buruh sawit, lebih dari setengahnya adalah perempuan.
Kajian Trade Union Rights Centre (TURC) 2020 di Kalimantan Selatan juga menunjukkan terjadinya eksklusi sosial, feminisasi kemiskinan dan absennya perlindungan sosial. Hal ini menyebabkan hilangnya kemampuan serta kesempatan individu maupun kelompok untuk berpartisipasi dalam fungsi-fungsi dasar politik, ekonomi, dan sosial masyarakat. Kajian tersebut juga menyoroti bagaimana dimensi struktural kerentanan perempuan mengakibatkan terjadinya feminisasi kemiskinan.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/07/27/75ba7619-0db5-4793-95e6-f9b28f1df2fc_jpg.jpg)
Feminisasi Kemiskinan
Feminisasi kemiskinan adalah istilah yang merujuk pada dimensi struktural yang mengakibatkan peningkatan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di kalangan perempuan. Konferensi Dunia PBB ke-4 tentang Perempuan 1995 menyebutkan bahwa 70 persen dari penduduk miskin dunia adalah perempuan. Bagaimana negara harus merespon feminisasi kemiskinan, sudah ditegaskan dalam artikel CEDAW Nomor 37 Tahun 2018, bahwa negara berkewajiban untuk menangani dimensi terkait gender terhadap risiko bencana dan perubahan iklim. Kewajiban negara juga ditekankan melalui Rencana Aksi Gender yang diadopsi dalam Perjanjian Paris COP23.
Selain bertentangan dengan komitmen CEDAW, keberlanjutan sawit juga tidak sejalan dengan keberlanjutan isu kesetaraan gender yang sudah disepakati dalam SDGs No. 5. Perempuan sebagai pemangku kepentingan dalam mata rantai produksi sawit justru menghadapi kemunduran besar dalam goal SDGs ini. Akibat kebijakan perluasan sawit, perempuan mengalami peminggiran oleh negara dan kepentingan perempuan dibisukan oleh kepentingan untuk mengakumulasi keuntungan ekonomi. Tidak hanya perempuan menjadi korban green washing kapitalisme global, perempuan juga makin dieksploitasi sebagai alat produksi untuk mempertahankan keberlanjutan sawit.
Biaya Kemanusiaan bagi Perempuan
Naila Kabeer, professor gender dari LSE menggambarkan kontradiksi dimana perempuan sering kali diposisikan sebagai “penyelamat” sekaligus “korban” dalam diskursus perubahan iklim. Perempuan dianggap “penyelamat” karena peran mereka dalam pelestarian sumber daya alam, namun stereotipi ini membebani perempuan dengan tanggung jawab menjaga kelangsungan hidup komunitas dan alam. Disisi lain perempuan juga dianggap lebih rawan menjadi “korban” karena dianggap kurang mampu melakukan respons adaptif.
Faktanya, peran gender yang dibentuk secara sosial itulah yang sesungguhnya menempatkan perempuan pada posisi yang lebih lemah dalam menghadapi perubahan iklim. Perempuan justru meninggalkan jejak karbon yang lebih rendah, karena dalam pertanian yang dikelola oleh perempuan, yang biasanya berskala lebih kecil dan padat karya, penggunaan bahan kimia cenderung lebih sedikit, sehingga dampak terhadap lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan pertanian yang dikelola oleh laki-laki.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/01/13/044f8101-4b6f-4a9b-8524-c3f0420e5c21_jpg.jpg)
Penulis disaster capitalism Naomi Klein menyebutkan bahwa fenomena krisis sering kali digunakan oleh pemerintah untuk memaksakan kebijakan ekonomi neoliberalis. Pemerintah seringkali mengambil keputusan besar dan cepat, dengan alasan pertumbuhan ekonomi, walaupun dampaknya akan mengorbankan masyarakat luas, menimbulkan bencana kapitalisme dan mengakibatkan perempuan membayar biaya kemanusiaan berlipatkali.
Perempuan membayar biaya kemanusiaan secara berlipat. Pertama, kehilangan akses terhadap sumber daya alam (hutan) yang selama ini menjadi sumber kehidupan. Kedua, tidak memiliki akses dan kontrol atas keputusan yang diambil terkait penggunaan lahan tersebut. Ketiga, perempuan juga makin dihadapkan pada kerusakan ekologis karena dalam keseharian perempuan berhubungan langsung dengan alam melalui pekerjaan rumah tangga, pengelolaan sumber daya alam, dan pertanian.
Selain pekerjaan yang prekariat, bahaya besar yang bisa menjadi malapetaka yakni kekerasan seksual berbasis gender. Dalam peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2019, World Rainforest Movement meluncurkan laporan “Breaking The Silence”, tentang perkebunan dan industri sawit yang menjajah tanah masyarakat, dan mengakibatkan kekerasan seksual. Situasi ini terjadi di banyak negara termasuk Indonesia, dimana perkebunan sawit telah menjadi bentuk perbudakan modern tempat pekerja diupah rendah dan pengusaha diuntungkan oleh kemudahan mendapat lahan.
Shirin Rai, professor gender dari SOAS menyebut biaya kemanusiaan yang harus ditanggung perempuan ini akan mengakibatkan “deplesi” (depletion), dimana perempuan akan mengalami erosi dan kehabisan sumber daya, karena terus menerus dieksplotasi dan tidak dapat terpulihkan harkat kemanusiaannya. Perjuangan untuk membalikkan “deplesi” adalah perjuangan untuk memikirkan kembali apakah sawit dan deforestasi akan menghasilkan imajinasi kehidupan yang lebih baik, ataukah sebaliknya.
—
Catatan:
Tulisan adalah opini pribadi penulis.
Penulis: Retno Indrawati, pernah bekerja sebagai Gender Specialist di Save the Children Indonesia, lulusan dari Magister Kebijakan Publik di School of Government and Public Indonesia dan saat ini sedang menempuh studi S2 dengan Beasiswa Chevening di MSc Gender, Development, and Globalisation – London School of Economics and Political Science, United Kingdom.
Dipublikasikan juga di:
https://www.kompas.id/artikel/malapetaka-sawit-kontradiksi-kebijakan-prekaritas-dan-biaya-kemanusiaan-bagi-perempuan