HAMPARAN sawah menjadi pemandangan yang dengan mudah kita temukan ketika berkunjung ke Kabupaten Grobogan. Untuk sekedar dipandang dan dipikirkan hasilnya, hamparan lahan itu memang terasa nyaman dan menentramkan.
Memang, tanaman itu dirawat dengan sungguh-sungguh oleh para petani. Meskipun mereka harus menghadapi masalah seperti hama dan ketersediaan pupuk.
Sawilah (43), salah seorang petani di Kecamatan Karangrayung, Kabupaten Grobogan, mengungkapkan kesulitannya menghadapi hama tikus.
“Hasil panen yang paling jelek di sini itu sekitar tiga/empat tahun yang lalu. Ya karena tikus. Baru menanam habis,” ungkapnya kepada Joglo Jateng, Sabtu (8/2).
Beragam upaya telah ia lakukan bersama sang suami. Mulai dari menyemprotkan pestisida, memasang perangkap hingga menunggui sawahnya agar tikus-tikus itu tak merusak padi yang sedang tumbuh.
Jika hama tersebut sampai menyerang habis-habisan, tak ada pilihan selain menanam lagi dari awal.
“Aku kemarin beli bibit (tidak menggunakan subsidi dari pemerintah, Red.) soalnya sudah nyebar dua kali nggak jadi tumbuh. Dimakan tikus terus,” ujar Sawilah.
Padahal, biaya proses menanam padi tidak murah. Untuk penyemaian, cabut bibit, dan upah tanam, ia bisa menghabkan uang Rp 1,1 juta. Selanjutnya, biaya traktor sebesar Rp 800 ribu dan tamping galeng Rp 100 ribu.
Kesulitan lainnya adalah ketika ia hanya menerima pupuk yang jumlahnya terbilang sangat terbatas. Untuk lahan tanam seluas 25 meter persegi, Sawilah mendapat 25 kilogram pupuk Urea dan 25 kilogram NPK phonska. Kedua pupuk bersubsidi yang ia terima itu tak cukup untuk ditaburkan selama masa tumbuh.
Untuk membeli sisa kebutuhan yang seharusnya yakni 1 kuintal pupuk, ia mengaku kesulitan. Tidak ada pilihan selain membeli pupuk non-subsidi.
“Dari pemerintah yang memberi pupuk subsidi dipersulit. Disuruh pakai pupuk kandang. Nggak bisa. Pupuk kandang itu kalau untuk orang yang tinggal di daerah pegunungan, punya sapi. Kalau orang daerah sini nggak punya sapi. Punya kambing cuma 1. Apa cukup untuk sekali pemupukan? Tidak,” keluh Sawilah.
Usai panen pun, harga jualnya juga tidak stabil. Paling banyak Rp 6 ribu per kilogram gabah. Ia bisa mendapat total hasil panen sebesar Rp 8 juta dari total hasil panen 1,3 ribu ton gabah.
“Habis nggak jadi (dua kali tanam, Red.) harganya naik. Rp 6 ribuan gitu jadinya lebih ringan sedikit lah,” ucapnya.
Gagal Panen karena Lahan Terendam Banjir
Sementara itu, di wilayah lain, yakni Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, para petani mengalami gagal panen sebab lahan mereka terendam banjir pada Kamis (6/2). Total ada 210,2 hekare lahan. Kerugiannya ditaksir sebesar Rp 1.965.500.000.
Berdasarkan informasi dari Camat Mejobo, Moch Zaenuri, ada empat sungai yang melewati wilayahnya masih belum dinormalisasi. Keempat sungai tersebut meliputi sungai dari Utara Piji, Dawe, Bendo, dan selatan Jeratun. Sungai-sungai ini menjadi penyebab utama banjir yang menggenangi 11 desa di Mejobo.
Zaenuri mengungkapkan, normalisasi sungai telah dijanjikan oleh BBWS Pamali Juwana untuk dilaksanakan pada 2024. Namun, normalisasi ini tertunda karena prioritas penanganan bencana banjir di Kabupaten Demak yang terjadi tahun lalu.
Akibatnya, sungai-sungai di Kecamatan Mejobo tidak terkelola dengan baik, dan kondisi sungai yang dangkal membuat air hujan meluap, menyebabkan tanggul jebol dan air meluber ke permukiman warga.
“Sungai yang dangkal menyebabkan air hujan meluap dan akhirnya jebol, meluber ke pemukiman warga. Kami sudah mengusulkan normalisasi, tapi tertunda karena prioritas penanganan banjir di Demak,” ungkapnya, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Kepala Bagian Layanan Data dan Informasi Stasiun Iklim BMKG Jawa Tengah, Sulistiyowati menuturkan, perubahan iklim turut menyebabkan kejadian hujan bertambah. Namun, intensitasnya makin banyak. Pada hujan lebat mencapai 51 – 100 mm/hari dan hujan sangat lebat lebih dari 100 mm/hari.
“Dalam satu hari satu jam dua jam itu intensitasnya langsung tinggi. Itu kan sering to. Itu kan sering terjadi,” ujarnya, Senin (10/2).
Berdasarkan Analisis Curah Hujan Dasarian I Februari 2025, beberapa wilayah di antaranya Kab. Pemalang, Kab. Pekalongan, Kota Pekalongan, Batang, Kendal, Kota Semarang, Demak, Kudus, Jepara, sebagian wilayah Kab. Pati, Grobogan, sebagian kecil wilayah Kab. Semarang, Tegal dan Brebes mengalami curah hujan dengan kriteria menengah hingga sangat tinggi. Yakni 51 hingga lebih dari 300 mm dalam 10 hari.
Dalam kondisi ini, menurut Sulis, diperlukan tata kelola wilayah yang ideal agar banyaknya air yang turun tidak menimbulkan bencana.
“Dari tata kelolanya gimana, dari infrastrukturnya gimana. Misalnya tata kelolanya sudah mulai bergeser nanti kalau ada curah hujan tinggi itu dampaknya sudah makin parah. Gitu biasanya,” tutur Sulis.
Selain curah hujan, ia juga menjelaskan dampak perubahan iklim yang mempengaruhi suhu rata-rata bumi. Dirinya menyebut, tahun 2015-2023 menjadi kontur paling panas yang pernah tercatat.
Ia pun menekankan pentingnya konservasi lahan untuk menjaga keseimbangan alam.
Solusi yang Bisa Diterapkan
Pakar ilmu pangan dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Laksmi Hartajanie turut mengingatkan pentingnya teknologi untuk mengantisipasi gagal panen akibat bencana banjir. Dalam hal ini, pompa pengendali banjir di lahan pertanian berperan sangat penting. Juga saluran irigasi yang tersistem dengan baik.
Upaya tersebut penting dilakukan untuk memaksimalkan hasil panen. Terlebih, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sedang menggalakkan upaya untuk mendukung program nasional, yakni swasembada pangan.
Dikutip dari laman resmi Pemprov Jateng, pada Oktober 2024 lalu, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jateng, Supriyanto mengungkapkan, kebutuhan beras di Jateng sekitar 340.000 – 345.000 ton per bulan. Artinya, dalam satu tahun yakni maksimal 4.140.000.
Sedangkan pada akhir 2024, produksi padi di Provinsi Jawa Tengah mencapai 8.850.920 ton, dari luas panen 1.554.931 hektare. Produktivitas tersebut, kata Supriyanto, menyokong kebutuhan pangan nasional sebesar 16-17 persen.
Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah, Produksi padi pada 2023 mengalami penurunan 0,29 juta ton GKG atau 3,15 persen dibandingkan produksi padi di 2022 sebesar 9,36 juta ton GKG.
Disebutkan pula, Produksi beras pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk mengalami penurunan 0,17 juta ton atau 3,15 persen dibandingkan produksi beras di 2022 yang sebesar 5,38 juta ton.
“Dalam pendampingan produksi padi di Jateng, kami maksimal mendorong petani mencukupi kebutuhan Jawa Tengah, dan berkontribusi terhadap kebutuhan nasional. Rerata selama lima tahun terakhir berkontribusi nasional 16-17 persen. Produksi padi Jateng 8.850.920 ton, dari luas panen 1.554.931 hektare, sedangkan produktivitas mencapai 5,69 ton per hektare,” ucap Supriyanto, Jumat (3/1).
Laksmi mengakui bahwa Jawa Tengah bisa menjadi lumbung pangan nasional. “Sangat memungkinkan (bagi Indonesia, Red.) untuk swasembada pangan. Itu kan kita membuat food estate gitu ya. Jadi ada daerah yang menanam padi, jagung. Sangat memungkinkan sih,” ungkapnya.
Namun, yang terpenting adalah komitmen dari pemerintah dan petani. Termasuk dalam mengembangkan pusat-pusat pertanian pangan sesuai kondisi lahan.
Untuk itu penyediaan pupuk, bibit unggul, serta sarana untuk petani perlu dimaksimalkan. Dirinya juga mengingatkan pentingnya penggunaan pestisida alami untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Keragaman Potensi Bahan Pangan di Jawa Tengah
Hari ini, meski nasi masih menjadi favorit banyak masyarakat untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, Laksmi mengingatkan bahwa ada sumber pangan lain yang bisa diandalkan.
“Jadi sumber karbohidrat itu tidak cuman padi, jadi harus beragam, ada padi, ada singkong, ada jagung dan ada ubi jadi macam-macam harus beragam,” tuturnya.
Sumber pangan lokal, kata dia, harus digalakkan lagi. Agar, jika sewaktu-waktu harga beras mahal masyarakat tidak kebingungan.
Untuk itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengenalkan keragaman pangan kepada anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Tujuannya agar mereka tidak bergantung pada satu karbohidrat, yakni nasi.
Menurut Laksmi, dalam program pemerintah, yakni Makan Bergizi Gratis, sumber karbohidrat yang diberikan tidak harus melulu nasi. Jagung dan singkong bisa menjadi pilihan karena dapat memberikan rasa kenyang yang tahan lama.
Di sisi lain, Laksmi pun turut menyayangkan program pangan pemerintah yang dapat menggeser budaya pangan masyarakat Papua.
“Di Papua itu kan itu dulu makannya sagu tetapi sekarang, kalau tidak ada nasi tidak ada beras mereka tidak bisa makan bilangnya, jadi kesalahan dari pemerintah,” ujarnya. (adf/)
(Adinda Fatma Fadhilah – Tulisan ini didukung oleh Laporiklim dan Yayasan PIKUL)