
Persoalan batas wilayah adat bisa menyulut konflik antar marga, suku dan antar kampung. Tanah Papua perlu waktu memetakan wilayah, tanpa terburu-buru.
BENTROKAN batas wilayah adat masih saja terjadi antar suku dan antar kampung di Kabupaten Jayapura, Papua. Buktinya, di Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura, pagi itu, 18 Februari 2025, terjadi bentrokan tentang batas wilayah adat antara lima suku dari Kampung Waibron dengan Ondoafi (kepala adat) Kampung Maribu, Yotam Yarusabra.
Tak ada korban jiwa. Tapi bentrokan itu berujung pada pemalangan jalan raya Waibron yang menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat di sekitar lokasi.
Menurut penelusuran penulis di Kampung Waibron, bentrokan ini bermula dari aksi pemalangan jalan yang dilakukan oleh Ondoafi (Kepala Adat) Kampung Maribu yang menolak rencana pengukuran jalan oleh kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Jayapura.
Yotam Yarusabra menolak pengukuran di jalan tersebut karena menganggap masih dalam proses gugatan hukum di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, berdasarkan Nomor Perkara: 278/PDT.G/2024/PN Jap. Namun dari pihak masyarakat 5 Suku di Kampung Waibron menginginkan agar pengukuran jalan tetap dilanjutkan.
Pertikaian ini akhirnya dimediasi oleh Polres Jayapura dan aksi pemalangan jalan dicabut. Aktivitas normal kembali.
***
Kisah bentrokan antara Kampung Waibron dan Maribu itu menunjukkan, bahwa batas wilayah adat, masih menjadi persoalan. Dan Kampung Waibron dan Kampung Maribu termasuk dua kampung yang belum dilakukan pemetaan wilayah adat.
Menurut Ketua Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura, Elvina Situmorang yang ditemui penulis di kantornya di Sentani (19/2/2025), bahwa persoalan batas wilayah adat bisa membuat konflik antar marga, suku dan antar kampung.
“Untuk menghindari konflik dan menjamin kepastian hukum bagi pemiliknya, sejak 2021 kami melakukan pemetaan wilayah adat dengan melibatkan masyarakat sebagai pemilih tanah adat dan juga bekerjasama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA),” kata Elvina.
Lebih lanjut Elvina menjelaskan, hasil pemetaan wilayah adat berupa data spasial dan sosial berupa tanah, air, perairan dan sumber daya alam yang ada di atasnya.
Menurut data GTMA, di Kabupaten Jayapura, baru delapan wilayah adat dari 86 wilayah adat di Kabupaten Jayapura yang sudah dipetakan dan teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Kedelapan wilayah adat itu adalah :
- Yungsu Desoyo di Distrik Ravenirara
- Yano Wai di Distrik Nimboran
- Yano Aklua di Distrik Nimboran
- Yano Genyem Hamong, Distrik Nimboran
- Yano Meyu, Distrik Nimboran
- Yano Imeno, Distrik Nimboran
- Syugkue Woi Yansu, Distrik Kemtuk Gresi
- Sawoi Hnya, Distrik Kemtuk Gresi.
Selain delapan wilayah adat itu, masih ada empat komunitas adat bersama GTMA sedang melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat. Keempat komunitas adat itu adalah :
- Komunitas Yano Genyem Yeku di Distrik Nimboran
- Komunitas Yano Nembu Berap di Distrik Nimboran
- Komunitas Yano Warumbaim di Distrik Nimboran
- Komunitas Beneik di Distrik Unurum Guay
Keikutsertaan masyarakat adat bersama GTMA dalam proses pemetaan wilayah adat, diakui juga oleh Ondoafi Yungsu Desoyo, Jan Jap Ormuseray. “Pemetaan wilayah adat itu sangat penting karena dengan adanya peta wilayah adat, kami mempunyai kepastian hukum terhadap wilayah adat kami,” kata Jan Jap Ormuseray.
Tentang proses pemetaan wilayah adat, menurut Ormuseray, masyarakat adat Yusu Desoyo mendapat informasi dari kepala kampung, bahwa Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui GTMA dan BRWA merencanakan untuk melibatkan masyarakat adat untuk melakukan pemetaan wilayah adat.
“Informasi ini, kami sambut. Lalu saya dan kepala kampung diundang GTMA untuk mengikuti sosialisasi tentang pemetaan wilayah adat. Setelah sosialisasi, kami kembali ke kampung dan kepala-kepala suku di Yosu Desoyo membuat peta wilayah adatnya masing-masing dengan didampingi staf peneliti dari GTMA. Hasil pemetaan dari masing-masing kepala suku itu digabung menjadi satu wilayah adat Yosu Desoyo. Kemudian, GTMA dan BRWA melakukan verifikasi untuk menentukan batas-batas wilayah adat,” ungkap Ormuseray.
Data yang didapat dari GTMA, luas wilayah adat Yosu Desoyo 3.638 Ha. “Untuk memperoleh data luas wilayah adat dan teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), kami sudah berjuang sejak tahun 2022 dan tahun 2023, kami mendapat Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL), Namun kami tidak puas karena sertifikat itu sekadar hak kelola. Bukan hak milik,” katanya.
Menurut Ormuseray, wilayah adat yang ditempati ini sudah diwariskan oleh nenek moyang sebagai sebagai milik masyarakat adat Yusu Desoyo. “Kalau kita hanya diberikan sertifikat HPL, berarti kami bukan pemilik. Kami hanya pengelola,” ujar Jan Jap Ormuseray.
Situasi yang sama dengan wilayah adat Yosu Desoyo pernah dihadapi Sama halnya Lain lagi dengan masyarakat hukum adat Sawoi Hnya di Distrik Kemtu Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua. Mereka berjuang selama tiga tahun untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah tapi mereka hanya diberikan Sertifikat HPL.
“Awalnya, kami berjuang untuk mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah adat. Tapi kemudian kami diberikan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan,” ujar Ketua Dewan Adat Suku Klisi, Dorteis Udam ketika dihubungi penulis melalui panggilan telepon, pada Senin (24/2/2025).
Udam mengatakan, masyarakat hukum adat Sawoi Hnya tidak bisa memiliki sertifikat hak milik karena lahannya sudah terlanjur menjadi lokasi transmigrasi, bukan lagi kawasan hutan. “Ketika mendapat HPL, kami tidak mendapat informasi tentang status HPL. Tapi yang kami tahu, dengan HPL, hak atas wilayah adat diakui dan dapat memberikan jaminan dan mempunyai kekuatan hukum bagi masyarakat adat Sawoi,” kata Dorteis.
Seperti yang dilansir Media Jubi pada 24 Juli 2024, Pemberian sertifikat HPL ini terjadi ketika pemerintah pusat hendak menjadikan Kabupaten Jayapura sebagai kabupaten percontohan untuk menerbitkan sertifikat HPL. Lalu Pemerintah Kabupaten Jayapura kemudian memilih masyarakat adat Sawoi Hnya sebagai penerima sertifikat Hak Pengelolaan dengan alasan masyarakat adat Sawoi Hnya sudah punya peta wilayah adat.
Secara umum, upaya memetakan peta wilayah adat menemui banyak tantangan. Menurut Sekretaris Tim Percepatan Pembangunan Daerah atau UP2D Kabupaten Jayapura, Edi Ohoiwutun yang dihubungi penulis melalui telepon seluler (25/2/2025), dijelaskan bahwa masalah yang dihadapi dalam pemetaan tanah adat yaitu: Kekeliruan batas wilayah adat, klaim sepihak oleh satu suku tertentu, serta konflik antar suku, marga, dan kampung.
“Ketika ada masalah yang muncul dalam pemetaan, GTMA sebagai mediator memfasilitasi semua pihak sehingga ada satu kesepakatan lalu pemetaan dilanjutkan hingga proses pemetaan itu selesai,” kata Edi Ohoiwutun yang juga Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay.
Dijelaskan juga, hasil pemetaan wilayah adat itu kemudian diajukan ke Bupati untuk mendapat pengakuan melalui surat keputusan. Setelah ada surat keputusan lalu dikirim Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) untuk diregister.
“Setelah mendapat pengakuan dari pemerintah kabupaten dan Hasil registrasi dari BRWA, lalu GTMA mengajukan ke kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui kantor ATR/BPN Kabupaten Jayapura,” kata Edi Ohoiwutun.
Masyarakat Adat Perlu Pengakuan Penuh, Bukan Sekadar Hak Kelola
Tantangan persoalan pengakuan wilayah adat bukan saja terkait kelambatan pemetaan wilaya adat tetapi juga munculnya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL). “Pemerintah harus melakukan pengakuan penuh terhadap eksistensi, hutan, pengetahuan, identitas dan wilayah adat, tidak sekadar pengakuan hutan adat. Sebab semua itu adalah satu kesatuan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan,” tegas Eko Cahyono dari Sajogjo Institute ketika dihubungi penulis melalui telepon selulernya (24/2/2025).
Eko Cahyono mengatakan, dalam pemetaan wilayah adat, sebagai langkah awal menuju pengakuan adat, umumnya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan semua pihak, yaitu: Pertama, perbedaan pemahaman dan gap pengetahuan antara masayarakat adat dengan para pihak yang melakukan pemetaan adat (NGO dan Pemerintah).
“Tidak sama pemahaman masyarakat adat tentang wilayah dan tata ruang adat dengan pandangan pemerintah. Pemerintah seringkali menganggap wilayah adat itu satu hamparan atau batas-batas polygon, namun masyarakat adat seringkali memiliki wilayah adat yang tersebar dengan batas-batas alam (gunung, sungai, bukit, pohon, batu dan lain-lain) yang telah diyakini melaluli pengetahuan adat secara turun temurun,” kata Eko.
Kemudian hal kedua, persetujuan batas wilayah adat antar kampung. Ujung dari bukti persetujuan pemetaan adat adalah adanya persetujuan antar wilayah adat yang berbatasan (Barat, Timur, Selatan dan Utara) yang dituangkan dalam “berita acara tata batas,” sehingga boleh dikatakan sah satu peta adat, jika telah mendapat pengakuan dari marga, suku, dan antar kampung yang berbatasan.
“Terkadang terjadi tumpang tindih tentang batas wilayah antara satu suku dengan suku lain, baik akibat sejarah, akibat perang, bencana alam, maupun perubahan topografis lainnya, sehingga persetujuan antar kampung itu tidak mudah. Maka etnografi tenurial adat penting dilakukan dengan prinsip kehati-hatian” kata Eko.
Hal ketiga, politik pengakuan negara. Hasil pemetaan wilayah adat, termasuk hutannya akan memiiki keamanan lahan (land securiity) jika telah mendapat legalitas dan pengakuan oleh negara. Sejauh ini yang tersedia adalah pengakuan Hutan Adat melalui skema Perhutanan Sosial (PS), yang basisnya adalah hak kelola bukan hak milik. Semantara tuntutan gerakan masayarakat adat, termasuk di dalamnya adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah pengakuan penuh bahkan pengembalian hak masyarakat adat yang selama ini drampas dan diambil oleh negara.
Eko Cahyono menegaskan, pemerintah seharusnya memberikan hak pengakuan penuh atas tanah hutan dan wilayah bukan semata hutan adat apalagi HPL yang basisnya hak kelola. “Secara historis masyarakat adat sudah ada sebelum Indonesia ada. Sehingga yang punya tanah itu sebenarnya masyarakat adat. Seharusnya pemerintah memberikan pengakuan penuh hak masyarakat adat atas tanah dan wilayah adat mereka,” tegas Eko Cahyono.
Eko Cahyono khawatir, pemberian HPL kepada masyarakat adat di Papua itu, cenderung membuka peluang bagi usaha-usaha non adat. Sebab secara yuridis formal di wilayah HPL dibolehkan untuk diberikannya ijin Hak Guna Bangungan (HGB) dan lain-lain. Jika tidak hati-hati, pemberian HPL justru akan memudahkan pelepasan hak masyarakat adat atas tanahnya sendiri.
“Pemberian HPL ke wilayah masyarakat adat mesti kita kuatirkan. Sebab, jika tak hati-hati, justru membuat wilayah adat bisa digunakan untuk tujuan-tujuan lain di luar tujuan konservasi ala adat. Sebab di wilayah HPL boleh diberikan HGB dll. Maka, pengakuan penuh tanah dan wilayah adat menjadi hal penting. Jangan hanya hak pegelolaan saja. Hal ini sebenarnya sudah diusulkan di dalam undang-undang masyarakat adat, tapi sampai sekarang, belum disahkan menjadi UU,” ujar Eko.
Dijelaskan juga, sertifikat HPL ini menunjukkan dominasi negara atas wilayah masyarakat adat. “Itu bukan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Itu bisa menjadi legitimasi (baru) atas status tanah atau lahan itu masih milik atau setidaknya alat kontrol/intervensi negara,” kata Eko Cahyono.
Menanggapi proses pemetaan dan pemberian sertifikat HPL, Sekretaris Tim Percepatan Pembangunan Daerah atau UP2D Kabupaten Jayapura, Edi Ohoiwutun yang dihubungi penulis melalui telepon seluler (25/2/2025) mengatakan, perlu ada sosialisasi untuk memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat adat tentang manfaat dan proses pemetaan wilayah adat serta apa itu HPL.
Upaya memetakan peta wilayah adat menemui banyak tantangan, antara lain kekeliruan batas wilayah adat, klaim sepihak oleh satu suku tertentu, serta konflik antar suku, marga, dan kampung.
“Ketika ada masalah yang muncul dalam pemetaan, GTMA sebagai mediator memfasilitasi semua pihak sehingga ada satu kesepakatan lalu pemetaan dilanjutkan hingga proses pemetaan itu selesai,” kata Edi Ohoiwutun yang juga Sekretaris Lembaga Masyarakat adat (LMA) Port Numbay.
Dijelaskan juga, hasil pemetaan wilayah adat itu kemudian diajukan ke Bupati untuk mendapat pengakuan melalui surat keputusan. Setelah ada surat keputusan lalu dikirim Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) untuk diregister.
“Setelah mendapat pengakuan dari pemerintah kabupaten dan Hasil registrasi dari BRWA, lalu GTMA mengajukan ke kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui kantor ATR/BPN Kabupaten Jayapura,” kata Edi Ohoiwutun.
“Proses pemetaan wilayah adat dan proses legalitas wilayah adat itu perlu waktu yang panjang. Untuk itu, masyarakat adat harus diberikan pemahaman yang baik tentang hak-hak mereka. Pemerintah jangan terburu-buru secara sepihak memberikan Hak Pengelolaan Lahan kepada masyarakat adat karena kepentingan tertentu,” Edy Ohoiwutun berharap. (Kristian Ansaka – Tulisan ini didukung oleh Laporiklim dan Yayasan PIKUL)