LaporIklim

Food Estate dan Runtuhnya Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat Pilang

FOOD ESTATE – Bapak Abe, petani dari Desa Pilang, Kalimantan Tengah, menunjukkan lahan sawahnya yang tak produktif. Di belakangnya terlihat sawah terbengkalai yang kini hanya ditumbuhi ilalang, Senin (17/02/2025).

PULANG PISAU, TABALIEN.com – Senja mulai turun di Desa Pilang, yang berjarak 70 kilometer dari Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Di teras rumahnya yang sederhana, Ardianto—yang akrab disapa Bapak Abe—duduk santai berbincang dengan beberapa tetangganya.

Selama sepekan ini, ia tak mengunjungi sawahnya yang terletak 20 menit perjalanan dengan perahu, menyusuri lekuk Sungai Kahayan yang berkilau keemasan ditimpa cahaya sore.

“Tak ada gunanya ke sana,” ujarnya dengan nada getir. Sawah seluas dua hektar miliknya, yang merupakan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate di era Presiden Joko Widodo, tak pernah menghasilkan panen yang layak.

Kondisi sawah yang memprihatinkan menjadi gambaran kegagalan program food estate di desa ini. Tanpa irigasi yang baik, banyak sawah terendam air hingga satu meter. “Apalagi kalau hujan, air tertahan, dan pipa-pipa pengatur air tidak berfungsi dengan baik,” tutur Bapak Abe, Sabtu (8/2/2025).

Permasalahan tidak hanya berhenti di situ. Bibit bantuan pemerintah, yaitu jenis Inpari 37 dan Inpari 42, tidak cocok dengan tanah tersebut. Tumbuhnya subur, tetapi tidak menghasilkan bulir padi. Belum lagi ancaman banjir dan serangan hama.

TERENDAM – Kondisi padi yang terendam air di lahan food estate Desa Pilang, Kalimantan Tengah. Buruknya sistem irigasi dan tidak berfungsinya pipa pengatur air membuat sawah gagal menghasilkan panen yang layak sejak program dijalankan pada 2021, Senin (17/02/2025).

Sejak 2021, jika ditotal, Bapak Abe hanya memanen beberapa kilogram beras saja. Hasil ini tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan dalam empat tahun terakhir, yang mencapai lebih dari Rp20 juta, jumlah yang sangat besar bagi keluarganya.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Dedy (67), seorang petani veteran yang dulu mengelola hingga tiga hektare lahan untuk berladang. Di era ladang bakar, ia tak pernah khawatir soal beras, sayur-sayuran, ikan, bahkan daging.

“Di ladang tidak hanya ada padi, tetapi juga sayur-sayuran. Ikan tinggal ke sungai, daging bisa berburu,” katanya mengenang.

Dalam tradisi berladang Dayak, pembukaan lahan dilakukan dengan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Sebelum membakar, mereka membuat sekat bakar berupa parit selebar satu hingga dua meter untuk mencegah api menjalar. Waktu pembakaran juga dipilih saat cuaca cerah dengan angin yang tidak terlalu kencang.

Pola ladang berpindah dengan sistem tebang-bakar ini memiliki siklus yang teratur. Setelah pembakaran, abu sisa pembakaran menjadi pupuk alami yang menyuburkan tanah. Lahan kemudian ditanami padi dan berbagai jenis sayuran selama 1-2 tahun sebelum dibiarkan menganggur (bera) selama 5-10 tahun agar kesuburan tanah pulih kembali.

Selama masa bera, masyarakat Dayak akan membuka ladang di lokasi lain yang telah disiapkan, menciptakan pola rotasi yang berkelanjutan. Selain hemat biaya, pola ini juga ramah lingkungan.

Di era itu, Dedy bisa memanen sekitar 600 blek padi (setara dengan 6 ton beras) dari ladangnya. Namun, kondisi ini sangat kontras dengan era sawah. Dari satu hektar, bahkan satu kaleng susu kental manis pun beras tak pernah berhasil ia panen.

“Kami menanam padi, tetapi beras tetap beli di warung. Dulu orang datang ke sini karena desa ini terkenal sebagai penghasil padi, tetapi sekarang pemuda dari desa harus merantau untuk mencari makan,” kata Dedy.

Dedy dan Bapak Abe sama-sama menyampaikan bahwa pada 2020, awal program food estate memberi mereka harapan. Bukan hanya soal ketersediaan beras, tetapi juga peningkatan ekonomi. Program itu seperti jawaban atas kerinduan mereka untuk bertani.

Banyak warga yang memiliki kaleka (bekas ladang yang dijadikan kebun buah-buahan atau karet) mengkonversinya menjadi sawah. Meski tidak ada perjanjian tertulis, warga dilarang menanami sawah mereka dengan tanaman keras, apalagi memanfaatkan untuk pemanfaatan lain.

Sialnya, dalam program sawah ini, warga tidak dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mengelola sawah. Pemerintah hanya datang, mengubah hutan dan kebun warga menjadi sawah, memberikan bibit serta sarana produksi, lalu pergi. Karena itu, sejak ditanami padi rawa pada 2021, hingga 2025 mereka belum pernah berhasil panen.

Lebih menyakitkan, program tersebut telah merampas sumber ekonomi lainnya—kebun karet dan buah-buahan yang selama ini memberi penghasilan tambahan bagi banyak warga. “Meski tidak berladang, dulu kami masih punya kebun karet. Sekarang kami mesti beradaptasi lagi,” tutur Dedy.

Dedy dan Bapak Abe adalah sedikit dari mereka yang masih bertahan untuk bertani. Hal itu terlihat dari banyaknya sawah di Desa Pilang yang terlantar. Banyak yang hanya ditumbuhi ilalang, sebagian lagi berubah menjadi kolam air. Semangat petani untuk bertani semakin lama semakin hilang.

Data yang disampaikan Kepala Desa Pilang, Rusli, menunjukkan bahwa dari 400 hektare sawah yang telah dibangun, hanya 300 hektare yang dikelola. Awalnya, pemerintah berencana membuka 1.060 hektare lahan baru untuk komoditas padi sawah di desa itu.

“Lahan itu dikelola oleh 17 kelompok tani. Satu kelompok tani terdiri dari 10 hingga 50 kepala keluarga dengan luas lahan per kelompok bervariasi antara 10 hingga 50 hektar,” katanya.

Dari seluruh Kelompok Tani (Poktan), lanjut Rusli, tidak ada yang berhasil panen. Produksi terbesar satu poktan hanya sekitar 50 blek, jauh dibandingkan dengan era perladangan tradisional Dayak.

Kegagalan program food estate di tingkat desa ini mencerminkan kondisi yang lebih luas di Kalimantan Tengah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng menunjukkan bahwa produksi padi menurun drastis sejak program ini berjalan. Pada 2020, produksi padi hanya 425.110 ton gabah kering giling (GKG), lebih sedikit dibandingkan 2019 yang mencapai 443.560 ton GKG. Tahun 2022, produksi padi bahkan hanya 343.920 ton GKG, dan pada 2023 turun lagi menjadi 334.730 ton GKG. Meskipun pada November 2024 angka sementara menunjukkan tren positif, yakni 378.180 ton GKG, jumlah ini masih jauh dari produksi 2014 yang mencapai 838.207 ton GKG.

Ladang Tradisional Lebih Efektif

Ladang Bakar
LADANG BAKAR – Seorang perempuan memanen padi di ladang bakar milik warga Desa Tumbang Habangoi, Katingan, Kalimantan Tengah, Jumat (20/3/2015) lalu, sebelum pemerintah memberlakukan larangan membakar. FOTO: EMMANUELA SHINTA

Penurunan drastis ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sistem pertanian masyarakat adat. Kedaulatan pangan masyarakat adat Pilang bertahan hingga 2015, sebelum pemerintah melarang pembakaran lahan. Kebijakan ini justru menghancurkan sistem pertanian tradisional yang telah dipraktikkan turun-temurun.

Dosen Sosiologi Universitas Palangka Raya (UPR), Paulus Alfons Yance Dhanarto, menyatakan bahwa praktik membakar dalam berladang tradisional suku Dayak memiliki peran yang sangat krusial. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga larangan terhadap pembakaran sama saja dengan mengancam kepunahan budaya tersebut.

“Membakar bukan hanya bertujuan untuk menyuburkan tanah, tetapi juga merupakan cara untuk meminta izin kepada leluhur bahwa seseorang sedang berupaya menghidupi anak dan cucunya,” ujar Paulus.

“Asap yang membumbung ke langit,” lanjutnya, “menjadi simbol permohonan izin untuk memanfaatkan kekayaan intelektual yang diwariskan oleh leluhur demi bertahan hidup.”

Paulus menambahkan, larangan ini berkaitan erat dengan program pertanian yang diperkenalkan dari luar tanpa mempertimbangkan kearifan lokal. Selain menyebabkan perubahan lanskap dan ekologi, kebijakan tersebut juga menghilangkan kekayaan budaya, mengancam punahnya varietas bibit lokal, serta memicu perubahan sosial.

“Ada sekitar 200-an bibit asli yang telah kami identifikasi beserta sejarahnya, tetapi hampir semuanya hilang. Saat ini, mungkin hanya tersisa satu sampai dua persen yang masih ada di lumbung, itu pun belum tentu bisa ditanam karena sudah terlalu lama disimpan,” jelasnya.

Dampak perubahan sosial juga terlihat dari hilangnya budaya Handep Hapakat, sistem gotong royong atau kerja sama tradisional yang erat kaitannya dengan praktik berladang masyarakat Dayak.

“Program food estate telah membuat warga menjadi lebih individualistis. Jika dulu pekerjaan berat dilakukan bersama-sama dan bergantian, kini budaya itu semakin pudar,” tutur Paulus.

WARISAN LELUHUR – Hamparan padi menguning di ladang tradisional milik warga Dayak di Desa Tumbang Napoi, Miri Manasa, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Metode berladang tradisional dengan sistem tebang-bakar yang diwariskan turun-temurun terbukti lebih efektif menghasilkan panen berlimpah dibanding sistem pertanian modern. Senin (9/3/2020). ARSIP/SANDRO

Senada dengan itu, pegiat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, Kesiadi, menegaskan, sistem berladang tradisional perlu dilindungi dan diakui oleh negara. Kedaulatan pangan akan mengantarkan negara pada ketahanan pangan.

“Kedaulatan pangan masyarakat adat sejalan dengan peningkatan produksi padi, sehingga tujuan ketahanan pangan nasional juga akan tercapai,” katanya.

Menurut Kesiadi, program ketahanan pangan pemerintah pusat di Kalimantan Tengah sejauh ini hanya berujung pada kegagalan dan sangat berbeda dengan konsep kedaulatan pangan versi masyarakat adat.

“Dalam sistem berladang tradisional, suku Dayak tidak hanya menanam satu jenis tanaman dalam hamparan luas, tetapi juga menciptakan diversifikasi pangan,” jelasnya.

“Sistem ini bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pangan, tetapi juga memperkuat hubungan sosial dalam komunitas suku Dayak,” tambahnya.

Pendapat serupa disampaikan oleh Anggota Komisi XII DPR RI dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah, Sigit K. Yunianto, dalam rapat kerja bersama Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan di ruang rapat Komisi XII DPR RI, Rabu (5/2/2025).

Menurutnya, penting bagi Kementerian Lingkungan Hidup untuk memahami kondisi di Kalimantan Tengah agar kebijakan yang diambil turut mempertimbangkan percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat serta wilayah adat.

“Larangan membakar lahan bagi peladang tradisional harus dikaji ulang agar tidak merugikan ketahanan pangan masyarakat lokal,” tulis Sigit di akun media sosialnya.

Dengan produksi padi yang terus menurun akibat pembatasan praktik berladang tradisional, pengesahan RUU Masyarakat Adat dapat menjadi solusi untuk memulihkan ketahanan pangan tradisional seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

Kegagalan program food estate di Desa Pilang menjadi bukti nyata bahwa kebijakan pertanian yang mengabaikan kearifan lokal justru membawa dampak buruk bagi masyarakat adat. Alih-alih meningkatkan produksi pangan, program ini malah menyebabkan kerugian ekonomi, hilangnya sumber daya alam, serta runtuhnya sistem pertanian berkelanjutan yang telah diwariskan turun-temurun. Sementara itu, kebijakan larangan membakar lahan tanpa solusi yang tepat hanya memperparah situasi, membuat petani kehilangan akses terhadap metode yang terbukti efektif dalam menjaga kesuburan tanah.

Upaya pemulihan kedaulatan pangan masyarakat adat harus dimulai dengan mengakui dan menghormati sistem pertanian tradisional mereka. Pemerintah perlu melibatkan komunitas lokal dalam merancang kebijakan yang sesuai dengan kondisi sosial dan ekologis setempat, bukan sekadar menerapkan solusi instan yang justru memperparah permasalahan.

Dengan mengembalikan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka, serta mengakomodasi praktik berladang yang berkelanjutan, ketahanan pangan sejati dapat terwujud tanpa mengorbankan budaya dan kesejahteraan mereka.


Artikel ini didukung Laporiklim dan Yayasan Pikul

Share the Post:

Related Posts