LaporIklim

Dulu Seroja, Kini Kekeringan: Nestapa Warga Waimatan Beradaptasi dengan Iklim

Saat kekeringan ekstrem seperti tahun 2023 dan 2024, warga desa merasa lebih kesulitan air

Sopia Semun (17) dan Diana Manuk (14), remaja Desa Waimatan yang menjunjung ember berisi air di wilayah relokasi Tanah Merah, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 15 Februari 2025 (Foto: Fransiska Mariana Nuka)

Lewoleba, Ekorantt.com – Di bawah terik matahari yang membakar ubun-ubun, Sopia Semun (17) dan Diana Manuk (14) membelah jalanan menanjak dengan menjunjung ember berisi air di kepala. Keduanya berderap langkah perlahan.

“Tiap hari selalu begini,” ucap Sopia terengah-engah ketika ditemui pada awal Februari 2025 lalu.

Rutinitas itu sudah biasa ditemui di wilayah Tanah Merah yang menjadi tempat relokasi bagi warga terdampak Badai Seroja dari Desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Biasanya, anak-anak perempuan remaja mengambil air dari tempat penampungan air hasil sumur bor yang berjarak ratusan meter dari rumah mereka.

Desa Waimatan merupakan salah satu desa di Kabupaten Lembata yang terdampak Siklon Tropis Seroja pada April 2021. Desa dengan jumlah penduduk 419 jiwa tersebut dihantam banjir bandang akibat siklon tropis itu sehingga menyebabkan 18 orang meninggal dan 8 orang hilang. Warga desa pun direlokasi ke wilayah baru yang jauh dari kampung asal. Namun, tempat relokasi yang baru itu justru rentan bencana kekeringan. Warga pun sulit mendapatkan akses air bersih.

Rina Betekeneng (41) dan Rika Paokuma (39) mengeluh dengan krisis air yang dialami. Mereka harus membeli air sumur bor dengan harga Rp10 ribu per satu drum 200 liter untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti mencuci dan mandi. Sedangkan untuk masak, mereka harus membeli lagi air milik perusahaan air minum daerah dengan ukuran yang sama seharga Rp15 ribu. Hal itu harus dilakukan karena air hasil sumur bor mengandung zat kapur yang sangat tinggi sehingga tidak bisa digunakan untuk memasak.

“Kalau di kampung (lama), air melimpah, mau cuci ya langsung di air, tapi di sini cuci juga harus pakai beli air, minum juga pakai beli,” ucap Rina kesal.

Rina bercerita, pemakaian air bergantung pada jumlah anggota dalam keluarga. Semakin banyak anggota keluarga, maka air harus dibeli setiap hari. Ia mencontohkan dirinya yang tinggal bersama lima orang anggota keluarga lain. Satu drum air hanya cukup untuk dua hari. Setelah itu, ia harus membeli air lagi.

“Tapi kalau musim hujan ini air PAM susah, banjir, airnya kotor, jadi macam kita pakai irit lagi, kalau air mulai habis, kita harus irit,” ucapnya.

Saat kekeringan ekstrem seperti tahun 2023 dan 2024, warga desa merasa lebih kesulitan air. Saking sulitnya mendapatkan air, warga desa terpaksa berjalan kaki 700 meter jauhnya untuk menggunakan air dari sebuah sumur yang sering dipakai sebagai tempat minum sapi.

“Kadang mama-mama yang sudah tidak ada suami lagi dan tidak ada aktivitas untuk menghasilkan uang itu ya pakai air itu,” kata Rina sedih.

Sama halnya dengan Rina, Rika justru merasakan uang justru dikeluarkan lebih banyak untuk membeli air dan bahan masakan sejak pindah ke tempat yang baru pascabencana.

Rika membandingkan kondisi saat berada di kampung halaman dan tempat relokasi. Di kampung halaman mereka sebelum bencana, air dan bahan makanan tersedia secara alami di alam. Ada sumber mata air yang berkelimpahan sehingga warga desa tidak pernah kesulitan mendapatkan air. Air dari sumber yang sama tidak hanya digunakan untuk mencuci pakaian atau mandi, tapi juga untuk memasak.

Keluhan serupa juga disampaikan oleh seorang janda bernama Yuliana Witak (44). Perempuan paruh baya ini tinggal sendirian di rumahnya karena sang anak pergi merantau. Untuk mendapatkan air, ia harus membeli atau mengantre air pada tempat penampungan yang tersedia. Jarak rumahnya sekitar 500 meter dari tempat pengambilan air.

Masalah Kesehatan

Dampak krisis air tidak hanya dirasakan oleh para perempuan dewasa. Pelajar SMA bernama Maria Claudia Lou Somi (16) juga mengeluhkan hal yang sama. Sejak kepindahannya ke wilayah relokasi itu pada tahun 2023, ia selalu merasa khawatir menjelang hari menstruasi, apalagi saat musim kering tiba.

Sembari menahan rasa nyeri menstruasi, Somi terpaksa harus berjalan kaki untuk mengambil air yang berjarak 700 meter dari rumahnya. Setelah itu, ia harus menjunjung ember penuh berisi air di kepala untuk kembali ke rumah melewati jalan menanjak. Namun, air itu tidak bisa digunakan seenaknya. Air tersebut harus digunakan dengan irit.

“Itu susah sekali, harus cuci kotoran karena sudah tembus, harus ganti ulang-ulang, tapi sayang air juga, mau bagaimana ini juga masalah kesehatan,” katanya dilema.

Karena kesulitan air, Somi pernah meminta air dari tetangga sekadar untuk membersihkan diri saat menstruasi. Jika air sangat sedikit, ia tidak bisa mengganti pembalut lebih dari tiga kali sehari.

“Saya harus double pembalut supaya tidak tembus, jadi tidak perlu ganti ulang-ulang,” ucap pelajar kelas XI SMA ini.

Somi menambahkan, air hasil sumur bor yang tersedia bagi warga memiliki kualitas yang buruk. Air mengandung zat kapur yang tinggi sehingga terlihat keruh dan kotor. Terkadang, ia harus membiarkan zat kapur itu mengendap di ember baru sebelum air dipergunakan untuk membersihkan tubuhnya dalam siklus menstruasi.

Namun, dampak dari kualitas air yang buruk juga dialami oleh ponakannya yang berumur 1 tahun 2 bulan. Kulit bayi tersebut sangat kasar dan sering gatal-gatal. Ibu dari si bayi pun harus membeli air dari perusahaan air minum daerah untuk mengatasi masalah kesehatan pada anak bayi perempuannya.

Keluhan remaja perempuan ini dibenarkan oleh Bidan Desa Waimatan, Ipe Paokuma. Ia mengatakan remaja selalu kesusahan untuk membersihkan diri saat periode menstruasi karena air yang tersedia harus dipergunakan dengan hemat. Selain itu kondisi kekurangan air ini juga berimbas pada aktivitas posyandu. Warga desa seringkali tidak terlibat dalam beberapa kegiatan posyandu karena mereka sibuk mencari air untuk mandi.

Drum-drum berwarna biru berukuran 200 liter di rumah-rumah warga Desa Waimatan di tempat relokasi Tanah Merah, Kecamatan Ile Ape. Drum air ini dipakai untuk menampung air yang dibeli maupun air hujan (Foto: Fransiska Mariana Nuka)

Perubahan Pola Hidup

Kepala Desa Waimatan  Onesimus Sili Betekeneng menjelaskan perpindahan ke tempat yang baru akibat bencana iklim seroja menyebabkan banyak perubahan dalam pola kehidupan warganya, tidak hanya sebatas pada kesulitan air bersih.

Dari sisi mata pencaharian, sebagian warga desa itu dulunya menggarap lahan pertanian orang lain dengan sistem bagi hasil. Sebagian lain menjadi nelayan, tukang, dan penenun. Namun kini tidak semua warga desa masih melakukan pekerjaan yang sama setelah berpindah ke lokasi yang baru.

Onesimus menerangkan, kondisi lingkungan baru yang kering dan jauh dari kampung lama menyebabkan warga desa beralih profesi sebagai tukang. Sebagian warga memang masih bertahan sebagai nelayan, namun tidak rutin karena harus pergi-pulang ke kampung untuk melaut di sana. Warga yang bekerja sebagai petani pun tidak optimal menggarap lahan, karena banyak lokasi berkebun berada di kampung lama.

Kondisi ini tentu saja berimbas pada pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga. Dahulu, warga tidak sulit mendapatkan ikan atau sayur untuk konsumsi sehari-hari. Jika ingin mengonsumsi ikan, warga desa langsung bergerak menuju pantai. Bahkan sayur-mayur pun tersedia di halaman rumah atau kebun.

Namun, pindah ke tempat relokasi justru membuat kehidupan mereka berubah drastis. Selain membeli air, mereka juga harus mengeluarkan uang untuk membeli sayur seperti kelor atau tahu dan tempe. Warga mulai jarang mengonsumsi ikan karena harga ikan yang terlalu mahal. Kebutuhan gizi anak-anak pun tidak terpenuhi karena perubahan pola konsumsi ini.

Adaptasi di lingkungan yang baru ini tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Onesimus mengatakan beberapa warga desa pun justru memilih merantau. Hal ini dibenarkan oleh Rika Paokuma.

“Banyak anak muda laki-laki merantau, jangan-jangan desa ini nanti hanya diisi mama-mama dan perempuan saja,” ucapnya lirih.

Fenomena Iklim di NTT

Koordinator Observasi dan Informasi BMKG Stasiun Klimatologi NTT, Alpianus Palute mengatakan Kabupaten Lembata secara umum merupakan wilayah yang minim curah hujan setiap tahun, terutama di Kecamatan Ile Ape.

Berdasarkan data dari Stasiun Pengamat Pos Hujan Ile Ape selama 10 tahun terakhir, curah hujan setiap tahun berkisar antara 500 mm hingga 1.400 mm per tahun dengan rata-rata sekitar 700 mm per tahun.

Dari data yang ada, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2021 yaitu sekitar 1.400 mm per tahun. Analisis BMKG menyatakan pada tahun tersebut sangat dipengaruhi adanya fenomena La-Nina sehingga sangat berpengaruh terhadap penambahan curah hujan di wilayah itu.

Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu sekitar 500 mm per tahun yang mana tahun tersebut merupakan tahun El Nino sehingga sangat berdampak terhadap pengurangan curah hujan.

El Nino adalah fenomena pemanasan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur yang dapat menurunkan intensitas curah hujan di NTT. Sebaliknya La Nina adalah fenomena pendinginan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur yang dapat meningkatkan intensitas curah hujan di NTT.

BMKG menganalisis terdapat fenomena El Nino yang terjadi pada tahun 2023 sehingga jumlah curah hujan pada tahun tersebut dibawah normal atau kurang bila dibandingkan dengan normal atau rata-rata curah hujan di Pos Hujan Ile Ape. Namun, curah hujan tahun 2024 terdata lebih banyak atau di atas normal bila dibandingkan dengan jumlah curah hujan tahun 2023.

BMKG pun mencatat Ile Ape sebagai wilayah yang memiliki curah hujan sangat rendah setiap tahun dengan rata-rata 8 Bulan Kering (BK) dan 4 Bulan Basah (BB) setiap tahunnya.

“Fenomena La Nina dan El Nino di wilayah ini sangat berdampak terhadap penambahan dan pengurangan curah hujan,” kata dia menyimpulkan.

Data Stasiun Pengamat Pos Hujan Ile Ape yang menunjukkan rata-rata curah hujan tahun 2023 bila dibandingkan dengan normal/rata-rata. Diagram ini menunjukkan terdapat fenomena El Nino pada tahun 2023 sehingga curah hujan dibawah normal/kurang.

Berdasarkan analisis iklim NTT dalam  Buku The State of Climate BMKG di NTT tahun 2024, seluruh wilayah NTT pada tahun tersebut memiliki variasi temperatur yang signifikan terhadap rata-rata tahun 1991-2020. Pada tahun 2024, suhu udara yang tercatat di beberapa wilayah mengalami peningkatan yang cukup mencolok dibandingkan rata-rata suhu dalam tiga dekade terakhir. BMKG mencatat adanya lonjakan suhu terutama pada bulan-bulan saat peralihan musim dan bulan November merupakan bulan dengan lonjakan suhu yang paling dominan selama tahun 2024.

Selanjutnya, pola curah hujan di NTT tahun 2024 menunjukkan perbedaan signifikan antara musim hujan dan kemarau. Pada awal tahun 2024, sebagian besar wilayah NTT mengalami curah hujan yang bervariasi dengan beberapa daerah mendapatkan curah hujan normal hingga atas normal dengan puncak hujan pada Maret 2024. Curah hujan pun mulai menurun seiring dengan peralihan musim dari hujan ke kemarau pada April 2024. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli, sebagian besar wilayah NTT mengalami curah hujan di bawah normal atau cenderung lebih kering.

Puncak musim kemarau pada tahun 2024 pun terjadi pada bulan Agustus. BMKG mencatat hampir seluruh wilayah mengalami curah hujan jauh di bawah normal dengan beberapa daerah bahkan mengalami kondisi kering ekstrem. Angin monsun timuran yang bertiup dari Australia membawa udara kering sehingga menyebabkan minimnya curah hujan.

BMKG menyimpulkan NTT mengalami dampak anomali iklim yang signifikan, terutama akibat pengaruh fenomena El Nino dan La Nina yang menyebabkan ketidakstabilan pola hujan di tahun 2024.

Selain itu, curah hujan di NTT pun mengalami pola yang kontras dengan periode kekeringan ekstrem pada puncak musim kemarau bulan Agustus dan peningkatan curah hujan di akhir tahun.

Intervensi Pemerintah Daerah

Pemerintah Kabupaten Lembata telah mengambil langkah penanganan krisis air bersih di kabupaten tersebut. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lembata, Andris Koban mengatakan bantuan distribusi air bersih diberikan oleh BPBD pada wilayah-wilayah yang mengalami krisis air saat kekeringan ekstrem, salah satunya Desa Waimatan yang menempati wilayah relokasi Tanah Merah, Kecamatan Ile Ape.

Sedangkan untuk jangka panjang, Andris menyebut adanya bantuan intervensi kekeringan hidrologis dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berupa satu titik sumur bor di tempat relokasi Desa Waimatan. Intervensi itu tidak hanya sebatas sumur bor saja, namun sarana pendukung lain seperti mesin generator set (genset), menara 10 meter, dan pipa.

“Di Tanah Merah semoga tahun depan terealisasi atau tahun ini paling cepat,” ucap Andris.

Selain BPBD Kabupaten Lembata, Pemerintah Desa Waimatan juga telah mengambil solusi sejak tahun 2022 dengan menyiapkan tangki fiber air untuk dipakai warga dengan sistem hak pakai. Nantinya, air yang dibeli warga bisa diisi di tempat penampungan tersebut lalu dipakai bersama-sama.

“Fiber ini kita hitung per kepala keluarga (KK), jadi ada 142 KK dengan 480-an jiwa,” kata Onesimus.

Adaptasi Iklim

Sudah jatuh, tertimpa tangga, demikian peribahasa yang bisa menggambarkan kondisi Warga Desa Waimatan saat ini.

Pada tahun 2021, mereka terusir dari kampung asal karena terpaan Siklon Seroja yang dipicu oleh fenomena La Nina di Samudera Pasifik tahun 2020-2021. Mereka pun terpaksa pindah meninggalkan kampung yang mereka yakini sebagai sumber kehidupan bertahun-tahun dahulu.

Berpindah ke lokasi yang baru tidak berarti kehidupan membaik. Krisis air menjadi masalah utama yang kini menghantui mereka setiap hari. Belum lagi krisis air itu diperparah karena sifat iklim di kecamatan tersebut yang lebih kering dibanding kampung asal. Sifat iklim yang kering itu terjadi sangat parah pada tahun 2023 karena dipengaruhi El Nino.

Namun, kehidupan harus terus berjalan. Sejak awal tahun 2025, hujan mulai turun di wilayah itu. Menurut BMKG, awal tahun 2025 dipengaruhi oleh fenomena La Nina lemah dan diprakirakan meluruh ke nomal di bulan Maret hingga akhir tahun. Kesempatan hujan inilah yang dipakai oleh warga desa untuk menampung hujan. Menabung air, demikian istilah yang mereka sebut.

“Beruntung sekarang hujan, untuk cuci pakaian bisa pakai air hujan dulu,” ucap Rina.

“Semoga tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, supaya kami tidak terlalu beli air lagi,” kata Rika berharap.

Artikel ini didukung LaporIklim dan Yayasan Pikul

Laporan: Fransiska Mariana Nuka

Share the Post:

Related Posts