LaporIklim

Tolak Legislasi Gelap Membahas RUU TNI: Inkonstitusional, Melanggar HAM dan Kebebasan Akademik

Herlambang Wiratraman dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum UGM membuka diskusi kritis tentang RUU TNI, Minggu (16/03/2025).

Jakarta, 17 Maret 2025. Secara mendadak pada bulan Maret 2025 ini pemerintah dan Komisi I DPR menggodok revisi Undang-Undang (UU) TNI. Revisi undang-undang ini tampaknya dipaksakan dan dikebut untuk secepatnya selesai dan segera diberlakukan. Proses revisinya cenderung tertutup karena dibahas di tempat yang tidak seharusnya: di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3), sebuah tempat yang ketat menjaga privasi dibandingkan di gedung DPR Senayan milik publik. 

Ada beberapa perubahan yg yang dilakukan. Intinya, kewenangan, tugas, dan peran TNI diperbesar. Perbesaran kewenangan, tugas, dan peran TNI ini mengingatkan kita pada masa Orde Baru dimana TNI begitu berkuasa mengurus hampir semua segi kehidupan bernegara. 

Maka, forum komunikasi pakar tata negara dan administrasi negara atau Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Pusaka Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Serikat Pekerja Kampus (PSK), merilis pernyataan bersama menolak revisi UU TNI, Minggu, 16 Maret 2025.

Staf pengajar Fakultas Ekonomi UGM, Herlambang P. Wiratraman mengatakan bahwa proses revisi UU TNI ini cenderung ugal-ugalan, tidak melibatkan partisipasi publik. Dan, lebih berbahaya secara substantif ini akan mendorong pada proses kekuatan militer hendak dimasukkan kembali ke jabatan-jabatan penyelenggaraan kekuasaan sipil.

“Sehingga kita patut mempertanyakan sejauh mana konsistensi menjaga supremasi sipil di dalam negara hukum demokratis.” ucapnya.

Koordinator KIKA Satria Wicaksana menyampaikan tentang proses inkonstitusional dalam pembahasan RUU TNI ini (Minggu, 16/03/2025).

Ketua KIKA Satria Wicaksana menegaskan bahwa revisi UU TNI ini inkonstitusional dan melanggar HAM dan kebebasan akademik. Revisi UU TNI ini, lanjutnya,  dampaknya sangat krusial bagi kebebasan sipil. 

“Jika hak impunitas TNI semakin kuat maka akan berdampak pada kehidupan kampus. Salah satunya TNI juga memiliki kekuatan luar biasa dalam memberangus kebebasan akademik, melakukan sweeping atas buku-buku yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila, atau juga dapat membubarkan diskusi di kampus jika dianggap bertentangan dengan keamanan nasional. Mempersempit ruang sipil, memberangus kebebasan berpendapat, ini efek langsung maupun tidak langsung disahkannya revisi Undang-Undang TNI ini sendiri,” tuturnya.

Dr. Syaiful Mahdi dari Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang merasakan bagaimana militer pada masa Orde Baru dan periode Daerah Operasi Militer (DOM) selama 30 tahun, meyakini jika revisi UU TNI diberlakukan maka akan mengancam kebebasan berekspresi dan akademis. 

“Berdasarkan pengalaman di Aceh dan pengalaman episode-episode kelam lainnya di Indonesia, sumbernya adalah impunitas, berulangnya pengangkangan terhadap hukum dan demokrasi oleh elit dan aparatur-aparatur represif yang sayangnya berkelindan dengan aparatur-aparatur represif dari kalangan sipil,” ujarnya.

Aktivis dari Papua Democratic Institute, Elvira Rumkabu. Ia menuturkan kasus di Papua di mana militer masuk ke dalam ruang-ruang sipil, terutama ruang-ruang pembangunan yang kemudian berhadapan dengan masyarakat sipil.

“Pada kasus program Makanan Bergizi Gratis, anak-anak sekolah di Papua melakukan penolakan di beberapa daerah. Mereka dibubarkan dengan paksa oleh aparat,” katanya. 

Elvira menambahkan, penolakan program pemerintah pusat tersebut sebenarnya bentuk dari protes terhadap militerisme di Papua. Kebanyakan anak-anak sekolah yang melakukan penolakan tersebut berasal dari daerah-daerah konflik dimana TNI menjadi aktor penting di sana yang membuat mereka trauma kekerasan, seperti di Papua Pegunungan dan Papua Tengah. “Bahkan di sana program makan gratis dilaksanakan pihak TNI,” katanya.  

Kasus lainnya adalah Program Strategis Nasional (PSN) Merauke. “Masyarakat adat di sana tidak bisa masuk lagi ke daerah tempat tinggalnya karena wilayahnya masuk dalam PSN,” kata Elvira. Tak hanya itu, militer juga masuk di sana untuk melegitimasi kekerasan atas nama pembangunan PSN.

Dua kasus ini hanya sebagian kecil saja peristiwa kekerasan oleh militer di Papua. Dua kasus ini juga memberikan gambaran kecil berapa mengerikannya kalau misalnya revisi UU TNI ini berhasil disahkan dan diberlakukan. 

“Tanpa direvisi pun sudah kelihatan bagaimana di Papua dan daerah lainnya, militer itu sudah masuk ke ranah-ranah sipil sampai ke ruang sekolah sampai memberikan makan kepada anak-anak sekolah,” ucap Elvira. 

Elvira Rumkabu dari Papua Democratic Institute dan KIKA chapter Papua menceritakan betapa masifnya kekuatan militer masuk ke ranah-ranah sipil di kawasan Papua (Minggu, 16/03/2025).

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menyoroti aspek tata negara. Dari sudut pandang konstitusi UUD 1945, Pasal 30, dinyatakan bahwa TNI itu adalah alat negara, bukan lembaga negara. Institusi yang termasuk ke dalam alat negara adalah TNI, Polri, dan BIN. Diksi ‘alat negara’ ini digunakan untuk memposisikan TNI sebagai alat oleh negara. Alat di sini diartikan sebagai institusi yang diberikan privilese untuk mengakses senjata dan kekerasan. Institusi ini mempunyai legitimasi untuk melakukan kekerasan dan juga mengakses senjata. Di setiap negara pasti punya tentara. Oleh karena itu tetaplah di wilayah ketentaraan. 

Jadi, tambahnya, jika merujuk pada revisi UU TNI, jangan hanya dilihat ada penambahan pengikutsertaan personil TNI di beberapa lembaga negara, tetapi lebih jauh dari itu, implikasinya bagi pemerintahan demokratis dan negara hukum. 

Bivitri mempertanyakan urgensi dari revisi UU TNI ini sehingga terkesan terburu-buru dilakukan. Apalagi Indonesia tidak dalam situasi peperangan. Berbeda dengan revisi UU TNI pada tahun 2004 pasca reformasi yang memang urgen untuk merevisinya.

Lebih lanjut Bivitri mengatakan, jika revisi UU TNI harus dilakukan, yang direvisi justru seharusnya untuk meningkatkan profesionalisme tentara, terutama dalam konteks peradilan militer. “Karena sampai sekarang undang-undang peradilan militernya belum diubah padahal sudah diamanatkan UU TNI Tahun 2004,” ucap Bivitri. 

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri menekankan bahwa TNI adalah alat negara, bukan lembaga negara dari sudut pandang konstitusi UUD 1945 (Minggu, 16/03/2025).

Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Prof. Susi Dwi Harijanti melihat revisi UU TNI sekarang disebutnya sebagai contoh dari upaya membuat regulasi yang “melukai” atau abusive. “Ini harus kita lawan karena rakyat adalah pemegang kedaulatan di negeri ini. Bukan politisi,” katanya. 

Menurut Susi, revisi UU TNI sekarang ini harus dilawan karena paling tidak ada dua alasan. 

Pertama, dari aspek prosedur, pembahasan secara terburu-buru itu tidak memperlihatkan aspek demokratis. Tidak ada asas kebutuhan atau keperluan revisi undang-undang ini. “Kalaupun ada keperluan untuk mengakomodasi terhadap kepentingan kelompok tertentu,” katanya.

Kedua, lanjutnya, dari materi muatan yang ada di dokumen revisi undang-undang tersebut. Kalau diperhatikan dari pasal-pasal yang ada di dalam daftar inventarisasi masalah, pasal-pasal tersebut bertumpu pada konsideran nilai-nilai demokrasi. Artinya, di dalamnya ada nilai supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan internasional yang sudah diratifikasi. Itulah yang menjadi dasar pengembangan profesionalisme TNI. 

“Namun, nilai dan prinsip-prinsip yang ada di dalam konsideran menimbang ini justru tidak terefleksi di dalam batang tubuh revisi undang-undang tersebut. Misalnya pada pasal 7 yang mengatur tugas-tugas pembantuan TNI, seperti operasi militer yang dianggap sebagai keputusan politik negara, pelaksanaannya diatur oleh peraturan pemerintah. Apakah ini tepat dalam politik hukum? Apakah ini tidak mengganggu fungsi dari lembaga-lembaga pemerintah lain? Dan bagaimana cara mengontrol pelaksanaan itu semua?” Susi bertanya. 

Fajri Nursyamsi dari PSHK Indonesia menyatakan bahwa revisi UU TNI menabrak aturan tata tertib DPR sendiri (Minggu, 16/03/2025).

Fajri Nursyamsi dari peneliti Program Studi Kebijakan PSHK, menyatakan revisi UU TNI ini bisa dikatakan menabrak aturan tata tertib DPR sendiri. Karena pada dasarnya RUU TNI ini tidak ada dalam Prolegnas 2025. “Oleh karena itu, revisi undang-undang ini cenderung dipaksakan dan luput oleh pantauan publik,” katanya.

Herdiansyah Hamzah, pengajar dari Universitas Mulawarman, Samarinda, mengingatkan bahwa kita semua jangan sampai ahistori, sebuah bangsa, terutama mengerikannya rezim militer di jaman Orde Baru di mana kebebasan masyarakat direnggut. 

“Kita jangan sampai amnesia, lupa akan trauma kolektif bagaimana kekuasaan dipimpin oleh militer,” pungkasnya.***

Share the Post:

Related Posts