LaporIklim

Anomali Iklim dan Peningkatan Risiko Penyakit Menular

Kesehatan secara menyeluruh tidak hanya dipengaruhi oleh pola hidup, tetapi juga iklim dan lingkungan. Anomali iklim yang tidak bersahabat juga merusak kualitas udara, sumber air, dan bahan pangan yang menjadi kebutuhan manusia. Dalam kondisi harian, cuaca ekstrem juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit hingga kematian.

Dua kejadian anomali iklim yang lazim terjadi di Indonesia adalah El Niño dan La Niña. Rangkaian El Niño dan La Niña tergabung dalam peristiwa El Niño Southern Oscillation (ENSO). ENSO merupakan fenomena iklim alami yang melibatkan fluktuasi suhu di Samudera Pasifik ekuator tengah dan timur serta perubahan suhu dan kelembaban  atmosfer di atasnya. ENSO terdiri dari tiga fase: El Niño, La Niña, dan netral, dengan siklus tidak teratur setiap 2-7 tahun. 

Menurut BMKG, kejadian El Niño di Indonesia menurunkan curah hujan hingga >40% pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober- November (SON). Adapun  La Niña, terjadi peningkatan curah hujan 20-40% pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON).

Walaupun ENSO merupakan siklus alami, bencana-bencana hidrometeorologi masih dapat terjadi. Saat La Niña, peningkatan curah hujan berpotensi menyebabkan banjir, angin kencang, badai tropis, dan lainnya. Sedangkan ketika El Niño, bencana yang muncul dapat berupa kekeringan dan kebakaran hutan.

Bencana hidrometeorologi ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga membawa potensi penyebaran penyakit menular. Sebagai negara tropis, risiko penyakit akan meningkat pada periode musim tertentu. Saat musim penghujan, penyakit menular vektor (hewan pembawa penyakit) mudah muncul, seperti malaria dan DBD. Sementara itu, musim kemarau ditandai dengan banyaknya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) karena asap kebakaran hutan dan lahan, atau debu. Namun, tidak menutup kemungkinan penyakit tersebut muncul tidak pada musimnya akibat perubahan iklim.

Kondisi El Niño dan La Niña memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan kasus DBD. Salah satu faktor utamanya adalah genangan air yang menjadi tempat perindukan nyamuk. Berdasarkan data Kemenkes RI, jumlah kasus DBD sepanjang periode 2021 hingga 2024 mencapai angka 560.000 kasus. Kejadian tertinggi berada pada tahun 2024.

Tidak hanya kasus DBD, Malaria juga sering dijumpai pada daerah endemis saat periode El Niño, hal ini dikarenakan suhu yang lebih tinggi mempercepat perkembangan parasit Plasmodium. Sementara itu, selama La Niña, peningkatan curah hujan menciptakan lebih banyak habitat perindukan nyamuk, sehingga meningkatkan potensi penyebaran malaria.

Kasus malaria tercatat lebih banyak dibandingkan DBD. Kemenkes RI mencatat ada kenaikan kasus setiap tahunnya. Selama periode 2021-2024, rata-rata ada sebanyak 420.000 kasus malaria tiap tahunnya.

Selain penyakit yang disebabkan oleh hewan, anomali iklim yang menyebabkan kekeringan berdampak pada kasus infeksi saluran pernapasan. Kekeringan panjang meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan.

Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak yang rentan terhadap penyakit pernapasan. Partikel-partikel halus dalam asap dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan meningkatkan risiko ISPA.

Berdasarkan data Kementerian KHLK tahun 2021-2024,  kejadian El Nino berdampak signifikan pada peningkatan jumlah titik panas dan kebakaran hutan. Kabut asap akibat kebakaran hutan yang meningkat selama El Niño memperburuk kualitas udara dan meningkatkan risiko ISPA, terutama pada anak-anak dan lansia.Sebagai contoh tahun 2023, Dinas Kesehatan Banjarbaru Kalimantan Selatan mencatat lonjakan kasus ISPA, yaitu 2.793 kasus pada bulan Juli menjadi 3.635 kasus pada bulan Agustus. Hal yang sama terjadi di Kota Jambi, kasus ISPA bulan Juli tercatat 5.310 kasus kemudian meningkat menjadi 5.477 kasus pada Agustus. Periode bulan tersebut adalah masa kering dan terjadi kebakaran hutan yang cukup masif.

Dampak dari anomali iklim semakin diperburuk oleh ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan di Indonesia. Rasio tenaga kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu sekitar 4 tenaga kesehatan per 1.000 penduduk, di bawah standar WHO yang merekomendasikan 4,4 tenaga kesehatan per 1.000 penduduk. Berdasarkan data BPS tahun 2024, diketahui bahwa sebaran nakes di Indonesia belum merata. Sebagian besar tenaga kesehatan terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Padahal, bencana hidrometeorologi dan dampak kesehatannya terjadi merata di berbagai wilayah Indonesia. Misalnya kebakaran hutan yang sering terjadi di Sumatera dan Kalimantan, maupun wilayah Papua yang menjadi daerah endemis malaria. Berkaca dari hal ini, kesenjangan nakes sudah seharusnya tidak terjadi lagi.

Selain jumlah tenaga kesehatan yang terbatas, infrastruktur fasilitas kesehatan di wilayah terdampak bencana sering kali tidak memadai. Selama periode El Niño, daerah yang mengalami kekeringan ekstrem dan kebakaran hutan menghadapi tantangan dalam penyediaan air bersih serta meningkatnya kebutuhan layanan kesehatan bagi penderita ISPA dan penyakit akibat polusi udara. Sementara itu, selama La Niña, peningkatan risiko penyakit berbasis air seperti DBD dan malaria menuntut kesiapan fasilitas kesehatan yang lebih baik.

Jika tidak ada upaya serius dari Pemerintah dalam mengatasi krisis iklim, kegiatan menebak anomali iklim dan penyebaran penyakit ini akan terus kita rasakan. Terlebih lagi, kelompok yang paling rentan oleh dampak krisis iklim dan bahaya penyakit menular adalah masyarakat yang tidak berkuasa atas pilihan kebijakan. Oleh karena itu, pendampingan masyarakat dengan kesenjangan kesehatan perlu dimaksimalkan sehingga ketidakadilan hak kesehatan masyarakat bisa diatasi.

Share the Post:

Related Posts