LaporIklim

Ringkasan Hasil Survei Persepsi Petani 2024

Laporan ini disusun berdasarkan Survei Persepsi Petani Indonesia 2024, yang dilakukan oleh LaporIklim bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Gerakan Petani Nusantara (GPN), Tani Nelayan Center (TNC) IPB University, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

File dokumen ringkasan dapat diakses melalui tautan berikut ini: klik di sini

Latar Belakang

Selama ini suara petani tidak didengar oleh pemerintah. Berbagai kebijakan yang dibuat nyatanya tidak mampu menyelesaikan berbagai permasalahan laten petani di Indonesia. Bahkan, dua agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo, yaitu reforma agraria dan ketahanan pangan, malah menyebabkan makin banyaknya konflik agraria, guremisasi petani, hingga tren impor yang melejit.

Petani menghadapi konflik agraria yang tak kunjung usai, dengan sedikit atau tanpa penyelesaian yang adil. Data menunjukkan setidaknya 2.939 konflik agraria terjadi sejak 2015 hingga 2023, melibatkan lahan seluas lebih dari 6 juta hektar dan mempengaruhi lebih dari 1,7 juta keluarga. Konflik ini sering kali berujung pada penggusuran petani dari tanah leluhur mereka, menyebabkan hilangnya sumber penghidupan dan keamanan sosial-ekonomi.

Petani dibiarkan terpuruk tanpa ada jaring pengaman bagi mereka sama sekali. Mereka masih harus mati-matian mendapatkan pupuk yang harganya pun tidak murah, mendapatkan modal untuk bertani, hingga berjuang mendapatkan harga terbaik bagi hasil panennya. Petani juga diperhadapkan dengan situasi kenaikan suhu rata-rata permukaan Bumi atau pemanasan global. Salah satu dampak terbesarnya adalah masa kemarau panjang yang mengeringkan seluruh sumber air, atau di wilayah lain terjadi banjir bandang yang merusak lahan pertanian.

Suara petani telah lama diabaikan. Karenanya, Survei Persepsi Petani Indonesia 2024 dilakukan untuk menangkap suara petani dari berbagai penjuru nusantara. Pengumpulan data survei dilakukan secara daring terhadap petani di 24 Provinsi melalui jaringan masing-masing Organisasi Masyarakat Sipil yang terlibat. Pengumpulan data dimulai pada 10 September hingga 20 September 2024.

Survei Persepsi Petani Indonesia 2024 juga menjadi simpul dan refleksi dari Survei Persepsi Petani Terhadap Program dan Kebijakan Kedaulatan Pangan Jokowi-Jusuf Kalla 2018 yang dilakukan oleh KRKP. Dua survei ini adalah gambaran utuh dari suara-suara petani yang telah lama tidak didengar oleh pemerintah. Harapannya, hasil survei ini menjadi masukan dan evaluasi bagi para pihak, khususnya pemerintah, agar dapat merumuskan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan petani Indonesia.

Kebijakan Pemerintah

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai program untuk mendukung petani, seperti pembangunan bendungan dan irigasi, realitanya banyak petani yang merasa tidak merasakan manfaatnya. Berdasarkan hasil Survei Persepsi Petani 2024, hanya 51,3 persen petani yang merasa akses irigasi membaik, sementara 44,1 persen masih merasa kesulitan mendapatkan air.

Masalah lain yang dihadapi petani adalah akses terhadap pupuk bersubsidi. Walaupun anggaran subsidi pupuk terus meningkat dalam 10 tahun terakhir, distribusinya tidak merata, dan 48 persen petani merasa mereka belum mendapatkan akses yang memadai terhadap pupuk bersubsidi.

Hasil survei tahun 2024 menunjukkan tidak adanya perubahan dari kebijakan pemerintah dari tahun ke tahun. Survei tahun 2018 juga menunjukkan bahwa 37 persen petani tidak mendapatkan akses ke pupuk, sementara 54 persen petani saat itu tidak merasakan adanya perbaikan irigasi dan akses air.

Selain itu, akses terhadap modal juga menjadi kendala besar bagi petani kecil. Banyak dari mereka yang masih mengandalkan pinjaman dari tengkulak atau rentenir dengan bunga tinggi karena sulitnya mengakses kredit usaha rakyat (KUR). Hanya 42,1 persen petani yang merasa akses modal mereka membaik selama sepuluh tahun terakhir.

Modal Pertanian Berkelanjutan

Model pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim semakin menjadi kebutuhan mendesak. Banyak petani yang mulai beralih ke sistem irigasi berkelanjutan, penggunaan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap anomali cuaca, dan menyesuaikan waktu tanam untuk mengurangi risiko gagal panen.

Namun, upaya ini belum sepenuhnya didukung oleh pemerintah, terutama dalam hal penyediaan pupuk organik dan benih unggul. Survei menunjukkan bahwa mayoritas petani masih menggunakan benih sendiri, dan 51,6 persen merasa pemerintah tidak memberikan bantuan pupuk organik yang memadai.

Survei tahun 2018 juga menunjukkan hasil yang serupa, di mana saat itu 36 persen petani mengaku bahwa pemerintah tidak memberikan bantuan pupuk, serta 46 persen mereka menggunakan benih secara mandiri. Artinya, tidak ada bantuan benih unggul dari pemerintah.

Perdagangan Yang Tidak Adil

Sistem perdagangan gabah yang ada saat ini juga dianggap tidak adil oleh petani. Meskipun harga gabah di tingkat nasional mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir, banyak petani yang merasa harga pembelian pemerintah belum memberikan keuntungan yang layak bagi mereka.

Hampir setengah dari responden Survei Persepsi Petani 2024 merasa tidak puas dengan kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah, yang tidak sebanding dengan kenaikan biaya produksi akibat inflasi dan harga pupuk yang semakin tinggi.

Sementara hasil survei tahun 2018, sebanyak 43 persen petani mengaku bahwa harga beli hasil panen dari pemerintah cukup rendah dan tidak menguntungkan sama sekali. Tak hanya itu, 22 persen mengaku bahwa harga jual padi memang tidak menguntungkan bagi mereka dan keluarganya.

Pangan Berkelanjutan

Pangan berkelanjutan perlu memikirkan darimana asal bahan pangan yang dikonsumsi. Sumber bahan pangan yang berasal dari jauh akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dari hasil survei persepsi petani menunjukan bahwa mayoritas petani (50,7 persen) memperoleh pangan yang berasal dari pangan lokal atau menanam sendiri.

Penyimpanan bahan pangan merupakan kemampuan masyarakat atau rumah tangan dalam menyimpan atau membuat cadangan pangan untuk kebutuhan ketahanan pangan rumah tangga. Penyimpanan ini memberikan rasa dan kondisi secure terhadap kebutuhan pangannya selama periode produksi bahan pangan sampai pada masa panen kembali. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 48 persen rumah tangga petani memiliki cadangan pangan.

Ada perubahan cukup signifikan dari akses ke pangan lokal atau yang dihasilkan sendiri oleh petani. Survei tahun 2018 menyebutkan bahwa 60 persen petani mengonsumsi pangan yang dihasilkan sendiri atau tidak membeli produk-produk pabrik. Sementara survei tahun 2024, kemampuan memproduksi pangan sendiri turun sebanyak 10 persen. 

Artinya, ada penurunan ketahanan pangan skala rumah tangga, di mana saat ini petani lebih banyak membeli. Hal tersebut berimbas pula pada kemampuan ekonomi mereka, padahal harga jual hasil panen dirasakan tidak menguntungkan sama sekali.

Dampak Perubahan Iklim

Saat ini, tantangan petani makin besar di tengah pemanasan global. Suhu rata-rata permukaan Bumi terus meningkat, sehingga merusak keseimbangan cuaca dan iklim. Implikasi terbesarnya adalah risiko kekeringan atau malah kebanjiran di lahan-lahan dan pemukiman petani.

Perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia. Cuaca ekstrem, musim yang tidak menentu, kekeringan, dan suhu yang semakin panas telah mengganggu produksi pertanian, menyebabkan penurunan hasil panen dan bahkan gagal panen di banyak wilayah. Survei menemukan bahwa 98,7 persen petani mengakui adanya perubahan iklim, dengan mayoritas mengalaminya dalam bentuk kekeringan (70,7 persen) dan musim yang tidak menentu (71,7 persen).

Dampak perubahan iklim ini memperparah kondisi ekonomi petani, dengan banyak kejadian penurunan produksi, bahkan gagal panen. Sebanyak 77,6 persen petani mengaku hasil panennya turun karena perubahan iklim, sedangkan 46,7 persen menyatakan bahwa mereka mengalami gagal panen.

Selain itu, cuaca ekstrem menyebabkan masalah kesehatan bagi para petani, dengan meningkatnya kasus dehidrasi, penyakit akibat paparan sinar matahari berlebih, dan bahkan kematian. Survei juga mencatat bahwa 91,4 persen petani merasa khawatir perubahan iklim akan berdampak buruk pada masa depan profesi mereka dan kesejahteraan keluarga.

Harapan Petani untuk Masa Depan

Petani berharap agar pemerintah memberikan perhatian lebih serius terhadap permasalahan yang mereka hadapi, terutama dalam hal kebijakan agraria, distribusi pupuk, akses terhadap modal, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka juga menginginkan pelibatan yang lebih besar dalam perumusan kebijakan terkait sektor pertanian untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan.

Dengan komitmen yang lebih kuat dari pemerintah dalam mendukung sektor pertanian, diharapkan ketahanan pangan nasional dapat terjaga, kesejahteraan petani dapat meningkat, dan dampak perubahan iklim dapat diminimalkan. Pemerintah juga perlu memperkuat kolaborasi dengan sektor swasta dan komunitas internasional untuk mendukung inovasi teknologi pertanian, pengembangan infrastruktur yang berkelanjutan, dan pendidikan bagi petani muda guna menghadapi tantangan yang semakin kompleks di masa depan.

Rekomendasi

Berdasarkan data yang ada, dapat disimpulkan bahwa beberapa harapan utama petani Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Kebijakan pro petani. Pemerintah harus memberikan lebih banyak dukungan dalam bentuk kebijakan yang pro-petani, termasuk subsidi dan bantuan langsung yang dapat meringankan beban mereka.
  2. Harga yang menguntungkan petani. Penting bagi petani agar harga hasil pertanian stabil dan menguntungkan. Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan dan sistem yang memastikan harga jual produk mereka tetap layak dan tidak terpengaruh oleh fluktuasi pasar.
  3. Penguatan akses terhadap sumber produksi. Akses terhadap sumber produksi seperti lahan, pengairan, benih, dan permodalan perlu diperkuat dengan kebijakan dan program yang baik dan untuk meningkatkan produktivitas dan hasil panen mereka.
  4. Perbaikan Kualitas Lahan. Perkuat program yang fokus pada perbaikan kualitas lahan pertanian, termasuk teknik pengelolaan tanah yang baik agar hasil panen lebih optimal.
  5. Inovasi teknologi Pertanian. Perkuat kapasitas dan daya adaptasi petani melalui pelatihan dan akses terhadap teknologi pertanian modern yang dapat membantu mereka meningkatkan efisiensi dan hasil pertanian.
  6. Pertanian Berkelanjutan. Model pertanian harus diarahkan pada pengembangan praktik pertanian berkelanjutan yang menjaga kelestarian lingkungan, sehingga pertanian dapat terus berproduksi dalam jangka panjang.
  7. Fokus pada kesejahteraan petani. Kebijakan dan program harus bermuara pada tujuan akhir untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik bagi petani dan keluarganya, serta menciptakan ketahanan pangan yang kuat untuk masyarakat.
Share the Post:

Related Posts