LaporIklim

Menuntut Keadilan dari Negara dengan Emisi Karbon Terbesar di Dunia

Indonesia termasuk dalam 20 negara dengan emisi karbon terbesar di dunia. Seluruh negara-negara tersebut bertanggungjawab atas dampak krisis iklim yang melanda berbagai wilayah di Bumi, mulai dari kekeringan, badai, krisis air, wabah penyakit, hingga kemiskinan.

Suasana car free day di kawasan Jakarta Pusat di tengah polusi udara yang pekat.

Badan Meteorologi Dunia (WMO) menegaskan bahwa tahun-tahun mendatang akan menjadi periode terpanas di permukaan Bumi. Tren pemanasan global akan terus berlanjut hingga melampaui batasan kenaikan 1,5 derajat celsius apabila tidak ada langkah radikal dari negara-negara pengemisi karbon terbesar.

Pemanasan global telah mendorong kondisi Bumi ke era pendidihan global dan krisis iklim yang berdampak pada peningkatan kejadian bencana ekstrem dan wabah penyakit. Dampak yang begitu besar nyatanya harus dirasakan seluruh negara, termasuk negara-negara yang tidak secara signifikan menyumbang emisi karbon.

Segilintir negara menghasilkan jutaan ton karbon untuk pembangunan yang dinikmati oleh mereka. Namun, kekeringan, cuaca ekstrem, bencana, wabah penyakit, kemiskinan, hingga konflik sosial harus diderita oleh negara lain. Inilah bentuk ketidakadilan dalam krisis iklim yang merenggut hak hidup jutaan manusia.

Saat ini adalah 20 negara dengan emisi karbon terbesar di dunia, yaitu China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Indonesia, Iran, Jerman, Saudi Arabia, Korea Selatan, Kanada, Meksiko, Brazil, Turki, Afrika Selatan, Australia, Vietnam, Italia, Polandia, dan Inggris. Seluruh negara tersebut menyumbang 79 persen total karbon di atmosfer.

Berdasarkan data Global Carbon Atlas, 20 negara tersebut menyumbang 29.440 MtCO2 atau setara dengan 29,4 miliar ton karbon dari berbagai aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti industri, tambang, pembangkit listrik, transportasi, dan lainnya. China menjadi negara pengemisi terbesar, yaitu 11.397 MtCO2 atau 30,7 persen dari total keseluruhan.

Posisi kedua ditempati Amerika Serikat dengan total 5.057 MtCO2 atau setara 13,6 persen emisi global. Sebagai negara maju, penggunaan energi fosil tergolong masih sangat dominan. Penggunaan energi fosil di China mencapai sekitar 83,4 persen tahun 2022. Sementara Amerika Serikat menggunakan 83 persen energi fosil yang berasal dari minyak bumi, batu bara, dan gas alam.

Indonesia menyumbang 729 MtCO2 atau sekitar 2 persen dari total emisi karbon global, dan menempati peringkat ke enam negara penyumbang emisi karbon terbanyak di dunia. Posisi Indonesia makin naik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di mana hanya menyumbang sekitar 1,5-1,7 persen emisi global. Saat ini, energi fosil masih mendominasi sekitar 74 persen dari kebutuhan energi nasional.

Selain menjadi 20 negara pengemisi karbon terbesar, ternyata negara-negara tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang besar, yaitu 76 persen dari total ekonomi seluruh dunia. Fakta tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dari fenomena krisis iklim saat ini. Negara-negara lain yang emisi karbonnya jauh lebih rendah turut terkena dampak pemanasan global.

Bencana banjir yang melanda kawasan Bingley, Inggris.

Banyak dari negara-negara pengemisi karbon rendah memiliki kekuatan ekonomi yang lemah, sehingga sangat rentan terdampak krisis iklim. Mereka juga dituntut melakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang tentu tidak gratis. Padahal kejadian cuaca ekstrem, banjir rob, abrasi pantai, gelombang panas, banjir bandang, hingga kerusakan lahan pertanian selalu mengintai.

Ketidakmampuan kelompok dalam merespons dampak krisis iklim menyebabkan berbagai persoalan sosial dan budaya. Kerusakan lahan pertanian dan kekeringan mampu menyulut pertikaian karena perebutan sumber pangan dan air. Kondisi tersebut juga berdampak pada tingkat kesejahteraan penduduk dan ancaman kemiskinan yang kian nyata.

Negara-negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia harus bertanggungjawab penuh dalam upaya penurunan suhu global. Mereka juga perlu menguatkan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi negara-negara yang terdampak langsung krisis iklim. Skema-skema pendanaan global untuk krisis iklim harus diperbanyak dan dikuatkan terus menerus.

Pantauan suhu harian secara global yang menunjukkan bahwa tanggal 21 Juli 2024 menjadi hari terpanas sepanjang sejarah manusia.

Salah satu skema pendanaan krisis iklim adalah loss and damage yang pertama kali diinisiasi pada pertemuan COP 27 di Mesir dan dikuatkan Kembali pada COP 28 di Dubai. Pendanaan tersebut ditujukan untuk mendukung negara-negara dan masyarakat rentan yang telah mengalami dampak buruk krisis iklim. Hingga saat ini dana yang terkumpul sekitar 661 juta Dollar AS atau setara Rp 10,23 triliun.

Langkah-langkah ambisius juga dinanti dari negara-negara pengemisi karbon terbesar di dunia. Target utamanya adalah menjaga batas kenaikan suhu global kurang dari 1,5 derajat celsius. Karenanya, langkah ambisius yang dimaksud adalah memangkas penggunaan energi fosil. Hasil COP 28 di Dubai tahun 2023 menunjukkan bahwa mengakhiri era energi fosil mampu memotong setidaknya 43 persen emisi karbon pada tahun 2030, sehingga pemanasan global tidak melebihi batas yang disepakati.

Share the Post:

Related Posts