LaporIklim

Kebakaran Hutan dan Mandulnya Penegakan Hukum

Ratusan ribu hingga jutaan hektar hutan ludes terbakar dan menyebabkan berbagai persoalan lingkungan, ekonomi, dan kesehatan.

lahan terbakar
Lahan bekas terbakar di kawasan Palangka Raya, Kalimantan Tengah

Sepanjang lima tahun terakhir, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai 3,67 juta hektar. Luasan terbesar muncul tahun 2019, yaitu 1,65 juta hektar, kemudian disusul tahun 2023 sebesar 1,61 juta hektar. Berdasarkan data tersebut, maka sebenarnya hutan seluas 734 ribu hektar lenyap setiap tahunnya karena kebakaran.

Emisi karbon sektor kehutanan karena karhutla tentu sangat besar. Berdasarkan data KHLK, emisi karbon sepanjang tahun 2019-2023 mencapai 917 juta ton. Angka sebesar itu setara dengan emisi karbon sebanyak 16,67 juta unit mobil. Sebuah angka yang sangat besar, mengingat Indonesia memiliki target net zero pada tahun 2060.

grafik karhutla

Nyatanya, karhutla lima tahun terakhir masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan sejarah kelam kebakaran hutan di Indonesia puluhan dekade lalu. Salah satu kejadian pilu karhutla di Indonesia terjadi tahun 2015 silam. Saat itu lahan seluas lebih dari 2,5 juta hektar hangus terbakar dan menimbulkan krisis kabut asap hingga ke negara tetangga. Puncak perjuangan korban kabut asap adalah mengirimkan petisi kepada Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi.

Apabila ditarik ke beberapa dekade sebelumnya, karhutla skala besar sebenarnya terjadi berulang kali. Tercatat setidaknya ada tiga periode karhutla yang menghanguskan jutaan hektar hutan. Pertama, karhutla terjadi pada tahun 1982/1983 dengan luasan 3,6 juta hektar dan kerugian lebih dari Rp 6 triliun.

Karhutla besar kedua terjadi pada tahun 1994/1995 dengan luas lebih dari 5 juta hektar. Tak berselang lama, tahun 1997/1998 kebakaran muncul dan menghanguskan 10 juta hektar hutan. Kerugian yang ditimbulkan pada saat itu mencapai Rp 711 triliun. Setelah tiga periode karhutla besar tersebut, titik kebakaran makin terkonsentrasi di lahan-lahan gambut.

Kebakaran tahun 2006-2008 mengakibatkan kerusakan kawasan lahan gambut sekitar 1,2 juta hektar. Salah satu penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan ke perkebunan sawit, sehingga salah satu metode pembersihan lahan yang dilakukan adalah pembakaran. Secara perhitungan untung dan rugi, membuka lahan dengan membakar sangat menguntungkan bagi pemilik lahan karena bisa 50 persen lebih murah.

grafik luas kebakaran hutan skala besar

Praktik-praktik ilegal pembukaan lahan dengan cara membakar menyebabkan Indonesia terjerumus dalam jerat kabut asap. Tak terhitung lagi berapa banyak masyarakat yang menderita infeksi saluran pernapasan, pneumonia, hingga kematian karena asap karhutla. Kerugian secara ekonomi terbilang sangat besar, apalagi yang terdampak adalah masyarakat dengan tingkat kesejahteraan menengah ke bawah.

Dampak kesehatan dan ekonomi memang sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar lokasi karhutla. Namun, ada satu dampak karhutla lagi yang bahkan mampu memperburuk kondisi kesehatan dan ekonomi, yaitu peningkatan emisi karbon ke atmosfer. Emisi karbon yang dilepaskan mampu memperburuk kondisi perubahan iklim, bahkan dapat meningkatkan risiko kebakaran yang jauh lebih dahsyat.

Langkah awal untuk penanggulangan karhutla adalah identifikasi kawasan rawan kebakaran. Setidaknya ada lima provinsi dengan luas hutan terbakar yang sangat besar pada tahun 2023, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua Selatan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Kelimanya adalah kawasan yang setiap tahunnya menjadi episentrum karhutla.

Pemerintah perlu menguatkan pengawasan kawasan hutan. Segala bentuk ancaman alih fungsi lahan yang berimbas pada karhutla harus dihentikan. Salah satu instrumen terkuat untuk menghentikan karhutla adalah penegakan hukum. Sayangnya, inilah titik lemah pemerintah dan telah lama menjadi celah yang dimanfaatkan secara leluasa oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

nasib penegak hukum kebakaran hutan

Nyatanya, tidak semua korporasi penyebab karhutla masuk ke meja persidangan. Berdasarkan catatan Auriga Nusantara, terdapat 50 korporasi yang diperiksa atas kejadian karhutla besar tahun 2015 dan 2019. Namun, hanya 15 kasus yang telah divonis oleh pengadilan. Sebanyak 19 kasus dihentikan penyidikannya dan 14 kasus tidak jelas perkembangannya. Inilah gambaran nyata buruknya penegakan hukum di Indonesia.

Vonis dari pengadilan terhadap kasus-kasus karhutla juga tidak menimbulkan efek jera. Sebab, denda yang dibebankan kepada para tersangka cenderung ringan. Bahkan, tidak ada kewajiban bagi korporasi untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak karena kebakaran. Auriga Nusantara juga mencatat bahwa ada sejumlah korporasi yang terbukti melakukan pembakaran hutan tahun 2015 dan Kembali mengulanginya pada 2019.

Kebakaran hutan dan lahan hanya akan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat. Kerusakan lingkungan tidak akan terbendung apabila hutan-hutan habis dibakar, demikian pula emisi karbon yang terus meningkat dan memperburuk dampak perubahan iklim. Pada akhirnya, masyarakat yang akan menanggung segala konsekuensi dari karhutla, sementara korporasi meraup banyak keuntungan.

Share the Post:

Related Posts