
“Jadi bisa dikatakan yang keracunan, atau perutnya enggak enak itu sejumlah 200 (jiwa), dari 3 koma sekian juta (anak), kalau tidak salah 0,005 (persen). Berarti keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) 99,99 persen,” tegas Presiden Prabowo Subianto seperti ditulis kompas.com di awal bulan Mei 2025 lalu.
Klaim Prabowo Subianto terkait keberhasilan program MBG dengan mengutip angka-angka statistik itu masih sangat bisa diperdebatkan secara metodologis. Sementara dari sisi kualitatif, hak kesehatan atas anak, klaim presiden yang mengecilkan korban program MBG adalah bukti pengabaian negara terhadap jaminan kesehatan bagi anak-anak.
Menilai keberhasilan program MBG dengan mengabaikan ribuan anak yang keracunan adalah sebuah kesalahan berpikir. Pemerintah wajib menjamin semua anak Indonesia tumbuh dengan maksimal tanpa ada hambatan, seperti kasus keracunan ini. Persoalan keracunan MBG harus segera dituntaskan. Namun, ada persoalan lain yang tak kalah pelik, yaitu harga kerusakan lingkungan akibat buruknya implementasi program MBG ini.
Program ini terkait erat dengan persoalan pangan. Seperti diungkapkan Koalisi Sistem Pangan Lestari dalam buku sakunya terkait sistem pangan, bahwa dalam perspektif sistem pangan, kita akan melihat persoalan pangan tidak berdiri sendiri.
Pangan mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh elemen-elemen lain dari sistem pangan secara luas, yaitu kesehatan dan lingkungan hidup. Lantas, bagaimana bila Program MBG dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup?.
Berdasarkan pemberitaan Tempo yang mengutip hasil analisis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), program MBG ini berpotensi menyumbang sampah organik sebesar 25-50 gram dari setiap porsi makanan yang disajikan ke siswa. Hingga April 2025, pemerintah mencatat penerima manfaat mencapai 3,25 juta anak. Artinya, akan ada potensi sampah organik sebesar 81 hingga 162 ton per hari.
Ratusan ton sampah organik yang dihasilkan program MBG ini akan menambah beban sampah di Indonesia. Padahal selama ini pengelolaan sampah secara umum masih sekitar 59 persen. Masih ada timbulan sampah yang tidak terkelola dan dibiarkan mencemari lingkungan.
Walhi juga menjelaskan bahwa per ton sampah organik mampu menghasilkan emisi rata-rata sebesar 0,3 ton karbondioksida ekuivalen. Maka tak heran apabila emisi karbon akan bertambah banyak mencapai 24 hingga 48 ton karbondioksida ekuivalen per hari dari program MBG. Saat dihitung menggunakan jumlah hari efektif sekolah selama setahun yang mencapai 256 hari, maka lebih dari 6.000 ton karbondioksida ekuivalen dilepas ke atmosfer Bumi.
Selain potensi sampah organik dan emisi karbon, ada wacana bahan pangan untuk MBG akan diambil dari hasil panen program food estate. Untuk mengukur program MBG dari sisi lingkungan hidup, kita perlu melihat dari mana pasokan pangan program ini akan didapatkan. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyebutkan bahwa hasil panen food estate dipakai untuk program MBG.
Proyek food estate adalah pertanian skala besar yang merusak biodiversitas alam. Di Merauke, Papua Selatan, konversi lahan gambut dan hutan primer untuk proyek ini berpotensi melepas 782,45 juta ton karbondioksida ekuivalen, setara dengan Rp 47,73 triliun kerugian karena emisi karbon.
Angka ini dua kali lipat dari emisi tahunan sektor energi Indonesia (386 juta ton karbondikosida ekuivalen pada 2023), sekaligus mengancam target Net Zero 2050 dengan memperlambat pencapaian 5 hingga10 tahun.
Deforestasi masif tidak hanya merusak habitat endemik Papua, tetapi juga memicu bencana ekologis berantai: kebakaran lahan gambut di musim kemarau, banjir bandang saat hujan, dan hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi penopang ekosistem.
Dampak sosial-ekonomi dari integrasi MBG-food estate tidak kalah meresahkan. Marginalisasi petani lokal terlihat dari alih fungsi 85.000 hektar lahan adat di Kalimantan Tengah untuk proyek serupa, yang justru menggeser pola pertanian subsisten berbasis kearifan lokal.
Karenanya, untuk melihat keberhasilan dari program MBG, harus menggunakan ukuran-ukuran yang jelas dalam sistem pangan. Elemen-elemen dari sistem pangan, seperti kesehatan, sistem pertanian, sampah pangan, kebijakan ekonomi-politik dan lingkungan hidup harus menjadi elemen-elemen kunci.
Dengan ukuran yang berasal dari elemen-elemen sistem pangan itu kita bisa melihat persoalan MBG secara utuh bukan parsial. Dengan melihat persoalan MBG secara utuh, maka perbaikan program ini dapat diambil secara tepat sasaran.
EDITOR: Yoesep Budianto