LaporIklim

Merananya Nasib Petani Indonesia

Dalam satu dekade kepemimpinan Presiden Jokowi, nasib petani tampaknya tidak pernah enak. Mereka ibarat roti yang ditumpuk dan ditekan dari berbagai sisi, terimpit oleh berbagai persoalan ekonomi, lahan, pupuk, hingga anomali iklim.

Pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim. Perubahan pola hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun signifikan. Tak hanya itu, kejadian iklim ekstrem menyebabkan gagal panen atau puso semakin luas.

Dampak El Nino yang mengakibatkan kekeringan panjang tahun 2015-2016 ternyata menurunkan produksi padi hingga 11,47 persen, sementara tahun 2019 turun 7,76 persen. Periode kering tahun 2023 turut menambah besarnya kerugian petani. Kualitas kesehatan petani juga terancam karena makin panasnya suhu udara di sawah. Risiko dehidrasi hingga pingsan atau kematian juga meningkat.

Di tengah dampak perubahan iklim yang makin nyata, petani diperhadapkan dengan persoalan kesejahteraan yang tak kunjung selesai. Kenaikan harga beras terjadi setiap tahunnya. Baru-baru ini harga beras yang melejit dikeluhkan masyarakat lantaran pengeluaran rumah tangga membesar. Bagi petani, lonjakan harga beras harusnya menjadi angin segar. Namun kondisinya justru terbalik.

Para petani padi tak benar-benar merasakan keuntungan dari melambungnya harga beras. Hal ini tergambar dari lebih tingginya kenaikan harga beras dibandingkan dengan nilai tukar petani (NTP) yang menjadi tolok ukur kesejahteraan petani.

Merujuk data Badan Pusat Statistik, rata-rata perubahan harga beras sepanjang periode 2014-2023 mencapai 3,3 persen. Sementara perubahan NTP tanaman pangan hanya 1 persen. Secara nominal pun harga beras terpantau konsisten meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, harga beras tahun 2014 masih sebesar Rp 9.638 per kilogram, kemudian menembus Rp 12.466 per kilogramnya pada 2023.

NTP tanaman pangan cenderung stagnan dari tahun ke tahun. Saat harga beras naik, hal itu tak lantas diikuti dengan kenaikan kesejahteraan petani yang signifikan. Sebagai contoh, harga beras tahun 2015 ke 2016 naik 5,5 persen, di sisi lain, NTP malah turun 0,9 persen. Saat tahun 2023 kemarin, harga beras melejit hingga 17 persen, namun NTP hanya naik 8,9 persen. Tidak ada keberimbangan sama sekali.

Narasi bahwa harga beras yang tinggi akan menguntungkan petani harus disikapi secara bijaksana dan hati-hati. Persoalannya, harga mahal bisa saja hanya menguntungkan petani besar dan pada saat yang sama justru meningkatkan keparahan kemiskinan kelompok petani kecil akibat membengkaknya pengeluaran tanpa adanya peningkatan pendapatan yang sepadan.

Kelompok petani kecil di Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan luasan penguasaan lahan yang mereka kelola. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023, petani gurem atau petani yang mengelola lahan kurang dari 0,5 hektar meningkat tajam. Saat ini petani gurem mencapai 60,84 persen atau naik 5,51 persen selama satu dekade terakhir.

Meningkatnya proporsi petani gurem adalah gambaran nyata dari penurunan kesejahteraan petani yang terjadi secara signifikan di Indonesia. Penguasaan lahan yang minim akan menyulitkan petani untuk meningkatkan kesejahteraan. Hasil usaha hanya akan mencukupi kebutuhan harian saja.

Selain persoalan ekonomi, saat ini regenerasi tidak berjalan sehingga petani-petani Indonesia makin menua. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023, kelompok petani usia 55-64 tahun meningkat 3,19 persen dibandingkan tahun 2013 silam. Demikian pula kelompok usia yang jauh lebih tua, yaitu lebih dari 65 tahun yang mengalami kenaikan 3,4 persen.

Secara keseluruhan, demografi petani Indonesia didominasi oleh usia lebih dari 45 tahun. Proporsi kelompok usia tua sudah mencapai 66,44 persen atau sekitar 18,73 juta jiwa. Sementara petani usia muda atau dikenal dengan petani milenial hanya sepertiga dari jumlah petani tua di seluruh Indonesia.

Setidaknya ada dua penyebab menuanya petani Indonesia. Pertama, sistem pendidikan yang berorientasi pada modernitas dan perkotaan menyebabkan generasi muda enggan menerapkan ilmunya langsung di sawah atau bagian hulu dari pertanian. Mereka lebih memilih bekerja di sektor hilir dalam sistem pertanian.

Kedua, faktor penghasilan yang tidak menentu juga menghambat regenerasi petani. Sektor pertanian dianggap tidak mampu menopang masa depan dan menjamin masa tua mereka. Alhasil, citra petani menjadi kurang bergengsi bagi sebagian besar anak muda di Indonesia. Saat ini baru ada 6,18 juta petani milenial di seluruh Indonesia.

Implikasi lain dari penuaan petani adalah penetrasi teknologi pertanian yang lambat. Penguasaan teknologi mampu meningkatkan efisiensi produksi dan pengolahan lahan, sehingga dapat menekan besarnya kerugian dan mendatangkan lebih banyak keuntungan. Saat ini, baru 37,58 persen petani yang menggunakan teknologi digital.

Share the Post:

Related Posts